Rabu, 23 Desember 2015

Biar yang terbaik yang terpilih

Kesedihan hanya bisa hilang dengan kehadiran kebahagiaan, jika sedihnya tak bisa kau hapuskan maka kau bukan bahagianya, juga bukan pelipur laranya.
Aku kecewa, ya amat kecewa pada diriku sendiri yang belum bisa menjadi bahagia mu. Aku iri pada deraian ombak air laut yang bisa kapan saja menyapamu dan menghantarkan sejuta kebahagiaan untuk mu. Aku juga iri pada angin laut yang bisa kapan saja menghembuskan semilir angin kebahagiaan untuk mu dan aku juga iri pada air laut yang semakin senja semakin pasang, karena saat itu ia sedang berlari dengan riangnya di tepi pantai sana dan dengan bebas aku '' air laut yang pasang" bisa memandangmu dari kedalaman pasir pantai yang kau jejaki.
Tapi aku juga bahagia, karena ternyata 2 tahun 3 bulan  setelah kelahiranku Tuhan sengaja menciptakanmu agar bisa buatku jadi orang yang ter-bahagia di bumi.

Tapi nyatanya aku bukan yang terbaik untuk dipilih, nyatanya ada yang mampu menghapus sedihmu dengan kehadirannya, nyatanya ada yang mampu jadi pelipur laramu...ya dialah yang terbaik...jadi...aku biarkan yang terbaik yang terpilih....

Selasa, 22 Desember 2015

Aku tau ...ini beda

       Awalnya ...saya merasa bahwa waktu selalu punya cara tersendiri utk menjawab tiap pertanyaan dan memecahkan masalah dlm hdup ini. Tapi semenjak pertemuan itu, waktu tak lagi berpihak pada pendapatku bahkan justru menghianatiku.

      Aku memang bisa mengistirahatkan fisikku dari kelelahan hidup tp tidak dengan pikiranku, karena pikiranku selalu dipenuhi dengan bayang senyum manismu yg mmbuatku lelah se-lelah-lelahnya dan rindu se-rindu-rindunya. Aku marah saat senyum mu tertuju pada bukan sang pemilik rindu, aku marah saat senyum mu justru utk mereka yg sedetikpun tak pernah memikirkan tawa sedihmu, ya aku sangat marah. Karena hati ini telah tertuju pada satu rindu.
  Setiap ucapan yg kau ungkapkan bagiku bagai puisi terindah yg pernh ku dengar, bagai lantunan melodi karya sang maestro.
Ya ...aku tau ini Beda. Tapi keyakinanku selalu berkata bahwa Kita bisa jalan se-irama tuk menikmati indahnya semesta.

Sampai saat ini aku hny bisa mnyimpulkan satu hal, utk tau siapa org yg pling dsayangi olehnya maka tanya saat dia sedih dan sndiri siapa org pertama yg ia sebut itulah org yg paling ia rindukan kehadiranya. Karena bagiku rasa kasih sayang seseorang muncul saat hatinya teriris pilu seperti saat ini.
Ku tahu berat bagimu utk dtnggal pergi oleh mereka tapi satu hati ini tetap tertuju pada satu rindu dan itu KAMU "31"

Hujan di akhir Desember

Tak seperti biasanya, angin berhembus lebih kencang, dedaunan lebih lama bergoyang dan matahari bersinar lebih terik. Apa ini hnya perasaanku saja yg tengah bhgia karna selalu dgnmu? Atau memang semesta yg ingin melihatku lbh bahagia dr sebelumnya? Entah apapun itu...yg jelas Desember ini adalah penghujung tahun yg berat bagiku.
Kadang ingin terus bersama tp kadang jg ingin pergi ...
Tp terlepas dr semua itu...kehadiranmu di penghujung desember ini bgai hujan di tengah panasnya padang pasir....terimakasih segalanya

Senin, 02 November 2015

Paradigma dalam Metode Kualitatif


Paradigma dalam Metode Kualitatif
John W. Creswell dalam bukunya Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed lebih memilih menggunakan istilah Pandangan-dunia (worldviews) karena memiliki arti kepercayaan dasar yang memandu tindakan. Peneliti lain lebih suka menyebutnya Paradigma , Epistemologi dan ontologi atau metodologi penelitian yang telah diterima secara luas. (John W. Creswell, 2010: 7 ).
Kuhn ( 1962 dalam The  Structure of Scientific Revolutions mendefinisikan ‘ Paradigma Ilmiah sebagai contoh yang diterima tentang praktek ilmiah sebenarnya, contoh-contoh termasuk hukum, teori, aplikasi, dan instrumentalisasi secara bersama-sama yang menyediakan model yang darinya muncul tradisi yang koheren dari penelitian ilmiah.[1]
Capra (1996) mendefinisikan paradigma sebagai ‘konstelasi konsep, nilai-nilai persepsi dan praktek yang dialami bersama oleh masyarakat, yang membentuk visi khusus tentang realitas sebagai dasar tentang cara mengorganisasian dirinya.[2]
Empat pandangan dunia dalam metode Kualitatif
1.      Pandangan-Dunia Post-positivisme
     Asumsi-asumsi post-positivis merepresentaikan bentuk tradisional penelitian, yang kebenarannya lebih sering disematkan untuk penelitian kuantitatif ketimbang penelitian kualitatif.[3] Pandangan dunia ini terkadang disebut sebagai metode saintifik atau penelitian sains. Ada pula yang menyebutnya sebagai penelitian poritivis/post-positivis,sains empiris, dan post positivisme, istilah terakhir disebut post-positivisme. Kaum Post-Positivis mempertahankan filsafat deterministik bahwa sebab-sebab ( faktor-faktor kausatif ) sangat mungkin menentukan akibat atau hasil akhir.
    Pengetahuan yang berkembang melalui kacamata kaum post-positivis selalu didasarkan pada observasi dan pengujian yang sangat cermat terhadap realitas objektif yang muncul di dunia ‘’luar sana.’’ Untuk itulah, melakukan observasi dan meneliti perilaku individu-individu dengan berlandaskan pada ukuran angka-angka dianggap sebagai aktivitas yang amat penting bagi kaum post-positivis. Akibatnya, muncul hukum-hukum atau teori-teori yangmengatur dunia, yang menuntut adanya pengujian dan verifikasi atas kebenaran teori-teori tersebut agar dunia ini dapat dipahami oleh manusia. Untuk itulah, dalam metode saintifik, salah satu pendekatan penelitian yang telah disepakati oleh kaum post-positivis, seorang peneliti harus mengawali penelitiannya dengan menguji teori tertentu, lalu mengumpulkan data baik yang mendukung maupun yang membantah teori tersebut, baru kemudian membuat perbaikan-perbaikan lanjutan sebelum dilakukan pengujian ulang.[4]
  Phillips dan Burbules ( 2000 ). Sejumlah asumsi dasar yang menjadi inti dalam paradigma penelitian post-positivis, antara lain[5]:
1.      Pengetahuan bersifat konjektural/terkaan ( dan anti fondasional/tidak berlandasan apapun ). Bahwa kita tidak akan pernah mendapatkan kebenaran absolut. Untuk itulah, bukti yang dibangun dalam penelitian sering kali lemah dan tidak sempurna. Karena alasan ini pula, banyak peneliti yang berujar bahwa mereka tidak dapat membuktikan hipotesisnya; bahkan, tak jarang  mereka juga gagal untuk menyangkal hipotesisnya.[6]
2.      Penelitian merupakan proses membuat klaim-klaim, kemudian menyaring sebagian klaim tersebut menjadi ‘’klain-klaim lain’’ yang kebenarannya jauh lebih kuat. Sebagian besar penelitian kuantitatif, misalnya, selalu diawali dengan pengajuan atas suatu teori.[7]
3.      Pengetahuan dibentuk oleh data, bukti, dan pertimbangan-pertimbangan logis. Dalam praktiknya, peneliti mengumpulkan informasi dengan menggunakan instumen-instrumen pengukuran tertentu yang diisi oleh partisipan atau dengan melakukan observasi mendalam di lokasi penelitian.[8]
4.      Penelitian harus mampu mengembangkan statemen-statemen yang dapat menjelaskan situasi yang sebenernya atau dapat mendeskripsikan relasi kausalitas dari suatu persoalan. Dalam penelitian kuantitatif, peneliti membuat relasi antarvariabel dan mengemukakannya dalam bentuk pertanyaan dan hipotesis.
5.      Aspek terpenting dalam penelitian adalah sikap objektif; para peneliti harus kembali menguji metode-metode dan kesimpulan-kesimpulan yang sekiranya mengandung bias. Untuk itulah dalam penelitian kuantitatif, standar validitas dan reliabilitas menjadi dua aspek penting yang wajib dipertimbangkan oleh peneliti.[9]

2.      Pandangan Dunia Konstruktivisme Sosial
  Konstruktivisme sosial meneguhkan bahwa individu-individu selalu berusaha memahami dunia di mana mereka hidup dan bekerja.
Terkait dengan konstruktivisme ini, Crotty ( 1998 ) memperkenalkan sejumlah asumsi :
1.      Makna-makna di konstruksi oleh manusia agar mereka bisa terlibat dengan dunia yang tengah mereka tafsirkan . para peneliti kualitatif cenderung menggunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka agar partisipan dapat mengungkapkan pandangan-pandangannya.[10]
2.      Manusia senantiasa terlibat dengan dunia mereka dan berusaha memahaminya berdasar perspektif historis dan sosial mereka sendiri.[11]
3.      Yang menciptakan makna pada dasarnya adalah lingkungan sosial, yang muncul di dalam dan di luar interaksi dengan komunitas manusia.[12]

3.      Pandangan Dunia Advokasi dan Partisipatoris
  Pandangan Dunia Advokasi dan Partisipatoris berasumsi bahwa penelitian harus dihubungkan dengan politik dan agenda politis. Untuk itulah, penelitian ini pada umumnya memiliki agenda aksi demi reformasi yang diharapkan dapat mengubah kehidupan para partisipan, institusi-institusi di mana mereka hidup dan bekerja, dan kehidupan peneliti sendiri.[13]
  Dalam penelitian ini, para peneliti harus bertindak secara kolaboratif agar nantinya tidak ada partisipan yang terpinggirkan dalam hasil penelitian mereka. Bahkan, para partisipan dapat membantu merancang pertanyaan-pertanyaan, mengumpulkan data, menganalisis informasi, atau mencari hibah-hibah penelitian.[14] Penelitian advokasi menyediakan sarana bagi partisipan untuk menyuarakan pendapat dan hak-hak mereka yang selama ini tergadaikan.[15]

4.      Pandangan Dunia Pragmatik
  Pragmatisme sebagai pandangan dunia lahir dari tindakan-tindakan, situasi-situasi, dan konsekuensi-konsekuensi yang sudah ada, dan bukan dari kondisi-kondisi sebelumnya ( seperti dalam kondisi post-positivisme ). Sebagai salah satu paradigma filosofis untuk penelitian metode campuran, Tashakkori dan Teddlie (1998), Morgan (2007), dan Patton (1990) menekankan pentingnya paradigma pragmatik ini bagi para metode campuran, yang pada umumnya harus berfokus pada masalah-masalah penelitian dalam lmu sosial humaniora, kemudian menggunakan pendekatan beragam untuk memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam tentang problem-problem tersebut.[16]








DAFTAR PUSTAKA
Creswell, John W, Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed
       ( Pustaka Pelajar : Yogyakarta ) 2007, Cet. I.
Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, ( PT Remaja Rosdakarya : Bandung )
       2009, Cet. 26.



[1] Lexy J. Moeleong, metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2009, h. 48.
[2] Lexy J. Moeleong, h. 48.
[3] John W. Creswell, Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, h.8.
[4] John W. Creswell, h.10.
[5] John W. Creswell, h.10.
[6] John W.Creswell, h.10.
[7] John W.Creswell, h.10
[8]John W. Creswell, h.10
[9] John W. Creswell, h.10
[10] John W. Creswell, h.10

[11] John W. Creswell, h.12.
[12] John W. Creswell, h.12
[13] John W. Creswell, h.14
[14] John W. Creswell, h.14
[15] John W. Creswell, h.14
[16] John W. Creswell, h.16

Mata Kuliah Pengantar Psikologi tentang Ingatan dan Kesadaran

INGATAN DAN KESADARAN


A.   INGATAN ( MEMORY )
        Segala macam belajar melibtkan ingatan, para ahli psikologi mengethui pentingnya membuat dua perbedaan dasar mengenai ingatan. Yang pertama, mengenai tiga tahapan ingatan, memasukkan pesan dalam ingatan (encoding), penyimpanan (storage), dan mengingat kembali (retrieval). Yang kedua, mengenai duajenis ingatan- ingatan jangka pendek dan ingatan jangka panjang.[1]
B.   TIGA TAHAPAN INGATAN
        Misalkan pada suatu pagi Anda dikenalkan pada seorang siswi dan Anda diberitahu namanya Ernawati. Sore harinya anda bertemu kembali dan mengatakan ‘’Anda Ernawati, bukan! Kita bertemu tadi pagi.’’ Jelaslah bahwa anda ingat namanya tetapi apa sebenarnya yang anda lakukan?
        Kekuatan ingatan anda dapat dibagi kedalam tiga tahapan. Pertama ketika anda dperkenalkan, dengan suatu cara anda memasukkan nama Ernawati kedalam ingatan. Ini adalah tahapan ‘encoding’. Anda mengubah fenomena fisik (gelombang-gelombang suara) yang sesuai dengan nama yang diucapkan kedalam kode yang diterima ingatan dan anda menempatkan kode tersebut dalam ingatan. Kedua, anda mempertahankan atau menyimpan nama itu selama waktu antara kedua pertemuan tadi. Inilah yang dinamakan tahapan penyimpanan (storage stage). Dan ketiga, anda dapat mendapatkan kembali nama itu dari penyimpanan pada waktu pertemuan kedua, ini adalah tahapan mengingat kembali (retrieval stage).
C.   DUA JENIS INGATAN
A.   Ingatan jangka pendek
        Kendatipun dalam keadaan di mana kita harus mengingat informasi untuk beberapa detik saja dan informasinya mungkin masih dalam keadaan aktif, ingatan tetap mencakup tiga tahapan.
a.       Pemasukan pesan dalam ingatan (Encoding)
b.      Untuk dapat menyimpan informasi ke dalam ingatan jangka pendek, kita harus memperhatikan informasi tersebut. Karena kita sangat selektif tentang apa yang akan kita perhatikan, ingatan jangka pendek kita hanya berisi apa yang dipilih. Hal ini berarti bahwa sebagian besar dari apa yang telah terlihat oleh kita tidak pernah memasuki ingatan jangka pendek, dan tentu saja tidak akan mungkin dapat digunakan untuk pengingatan kembali di kemudian hari. Memang, setiap kesultan yang diberi cap ‘’kesulitan ingatan’’ sebetulnya merupakan tidak adanya perhatian. Misalnya, jika anda berbelanja dan kemudian seseorang menanyakan warna mata pelayannya, anda mungkin tidak dapat menjawabnya karena anda memang tidak memperhatikannya.
Jika informasi diperhatikan, maka informasi tersebut disimpan dalam ingatan janga pendek, seperti telah disebutkan sebelumnya, pemasukan pesan (Encoding) tidak berarti bahwa informasi dimasukkan dalam ingatan  dalam ingatan saja, tetapi juga bahwa inforasi tersebut dimasukkan dalam ingatan dalam bentuk tertentu atau kode. Misalnya, jika anda mencari nomer telepon dan mengingatnya, sampai anda memutar nomor itu, dalam kode apa anda simpan angka-angka itu? Apakah kode itu visual-suatu bayangan mental dari angka-angka itu? Ataukah kode itu akustik-bunyi dari nama angka-angka itu?, penelitian menunjukkan bahwa kita dapat menggunakan kemungkinan yang mana saja untuk memasukkan informasi kedalam ingatan janga pendek. Tetapi tampaknya kita lebih menyukai kode akustik ketika mencoba mempertahankan informasi itu tetap aktif dengan cara melatihnya-yaitu dengan cara mengulang berkali-kali informasi itu dalam benak kita. Berlatih merupakan strategi yang popular, terutama bila informasi terdiri dari butir verbal seperti angka, huruf, atau kata. Oleh karena itu dalam mencoba mengingat sebuah nomer telepon, kita cenderung memasukkan nomer itu dalam ingatan sebagai bunyi dari nama-nama angka dan megulang bunyi itu sendiri sampai kita selesai memutar nomor tersebut.
c.       Penyimpanan (storage)
Mungkin kenyataan yang paling mencolok mengenai ingatan jangka pendek ialah bahwa ingatan ini mempunyai kapasitas yang terbatas. Batas rata-ratanya adalah 7 butir lebih atau kurang dua, sebagian orang dapat menyimpang paling sedikit 5 butir, yang lainnya dapat menimpan Sembilan. Kelihatannya tidak wajar member jumlah yang begitu pasti bagi semua orang, padahal sudah jelas bahwa kemampuan ingatan setiap individu sangat berbeda.
Meskipun kebanyakan dari kita kadang-kadang dapat mempertahankan sebuah ingatan visual mengenai sesuatu yang baru kita lihat, ingatan semacam itu biasanya tampak mengabur dan tanpa hal-hal yang rinci. Namun, sebagian orang ada yang sanggup menahan gambaran visual dalam ingatan jangka pendek mereka yang hampir sejelas foto.
Orang-orang seperti itu disebut memilliki ‘’ingatan fotografik atau, menurut istilah psikologi mempunyai bayangan eiditik.
Pada kesempatan lain  jika kita mendapatkan sebuah daftar nama (misalnya, buku panduan suatu perusahaan atau universitas), kit abaca seluruh buku satu kali kemudian kita perhatikan berapa nama yang dapat kita ingat dengan tersusun. Kemungkinannya antara lima dan Sembilan.
Dengan adanya kapasitas yang begitu pasti kita cenderung memandang ingatan jangka pendek sebagai sebuah kotak mental yang mempunyai tujuh slot (bilik). Setiap butir yang memasuki ingatan jangka pendek masuk kedalam masing-masing slot. Selama jumlah butir tidak melebihi jumlah slot kita akan dapat mengingat butir-butir dengan sempurna. Meskipun pandangan mengenai ‘kotak’ ini dapat diartikan secara harfiah, hal ini tetap menunjukkan sebab terlupakannya hal-hal dalam ingatan jangka pendek : ketika semua ‘slot’ sudah terisi dan sebuah butir baru akan masuk, salah   satu butir lama harus pergi. Butir yang baru menggantikan butir yang lama.
d.      Pengingatan kembali
Marilah kita pikirkan isi ingatan jangka pendek yang telah tersedia untuk kesadaran. Intuisi menunjukkan bahwa informasi itu diperoleh dengan segera. Kita tidak usah ‘menggalinya’, informasi sudah ada. Jadi pengingatan kembali tergantung dari jumla butir-butir dalam kesadaran. Tetapi dalam hal ini intuisi keliru.
Sekarang kita mempunyai bukti bahwa untuk mengingat kembali diperlukan pencarian penggalian ingatan jangka pendek, dimana butir-butir itu diuji satu persatu. Penggalian beruntun terjadi dengan sangat cepat, demikian cepatnya hingga kita tidak menyadarinya. Sebagian besar bukti penggalian seperti itu berasal dari sejenis eksperimen yang diperkenalkan oleh Sternberg (1966). Pada setiap percobaan dari eksperimen itu, kepada seorang subjek diperlihatkan seperangkat angka, yang disebut daftar ingatan (memory list). Yang dipertahankannya untuk sementara dalam ingatan jangka pendek; subje itu dapat dengan mudah mempertahankan informasi terebut dalam ingatan jangka pendeknya, karena setiap daftar ingatan berisi kurang dari tujuh angka. Kemudian daftar ingatan itu dihilangkan dari pandangan subjk, dan sebuah angka  probe diberikan beberapa detik kemudian. Subjek harus menentukan apakah angka probe ada didalam daftar ingatan. Misalnya, bila daftar ingatan itu 3,6,1, dan angka probenya 6, maka subjek harus menjawab ‘’ya’’ jika diberi daftar yang sama dengan angka probe 2, subjek harus menjawab ‘’tidak’’. Karena daftar ingatan itu sudah tidak dapat terlihat oleh subjek pada waktu angka probe itu diberikan, maka angka probe  itu harus dibandingkan dengan representasi daftar yang sudah tersimpan dalam ingatan jangka pendek. Subjek jarang membuat kesalahan dalam tugas semacam ini, yang menarik adalah kecepatan subjek untuk menentukan keputusannya.
B.   Ingatan jangka panjang
Ingatan jangka panjang meliputi informasi yang telah disimpan dalam ingatan dengan rentang waktu beberapa menit atau sepanjang hidupa (kenang-kenangan seorang dewasa tentang masa kanak-kanaknya).
a.       Pemasukan pesan dalam ingatan / penyusunan kode (encoding)
Untuk materi verbal, kode ingatan jangka panjang yang dominan tidak bersifat akustik atau visual, melainkan tampaknya didasarkan pada pengertian akan butir-butir tersebut. Kita dapat juga memakai kode akustik dalam ingatan jangka panjang. Ketika kita menerima telepon dan orang disebelah sana mengucapkan ‘’Hallo’’, sering kali kita mengenal suaranya, untuk melakukan hal ini, kita telah menyimpan suara orang itu dalam ingatan jangka panjang.
Pengkodean melalui pengertian, tampaknya menghasilkan ingatan yang terbaik. Dan semakin mendalam atau lengkap seorang menyerap pengertian, semakin baik ingatan yang terjadi. Maka, kalau kita harus mengingat satu hal dalam sebuah buku teks kita akan mengingatnya lebih baik, jika kita memusatkan pikiran pada pengertiannya dan bukan pada kata-kata yang tercantum. Dan semakin mendalam dan menyeluruh kita menghayati maknanya semakin baik kita mengingatnya.
Teknik eksperimen yang mementingkan pengertian uraian kata akan meningkatkan ingatan (Frase, 1975 ; Anderson, 1980).
b.      Penyimpanan dan pengingatan kembali (Storage and Retrieval)
Bila kita membahas ingatan jangka panjang, kita harus memperhatikan sekaligus mengenai penyimpanan (storage) dan pengingatan kembali (Retrieval). Banyak kasus mengenai proses lupa dari ingatan jangka panjang ini tampaknya merupakan akibat dari tidak adanya cara untuk mencapai informasi itu dan bukanlah karena tidak adanya informasi itu sendiri. maka, ingatan yang lemah dapat mencerinkan kegagalan pengingatan kembali dan bukan merupakan kegagalan penyimpanan informasi.
Pengalaman kita sehari-hari memberikan cukup bukti mengenai hal ini. Setiap orang pernah tidak dapat mengingat suatu fakta, yang kemudian baru di ingatnya kembali. Semakin baik bantuan isyarat penguatan kembali, semakin baik pula ingatan kita.
C.   Keadaan Kesadaran
Setiap orang mengalami kesadaran yang berubah-ubah sepanjang waktu.Bagi kebanyakan psikolog , perubahan keadaan kesadaran akan terjadi bila terjadi perubahan pada suatu pola fungsi mental yang biasa menjadi kesuatu keadaan yang kelihatannya berbeda bagi orang yang mengalami perubahan tersebut. (Tart, 1975) Walaupun bukan merupakan suatu batasan yang tepat,tetapi hal ini menunjukan bahwa keadaan kesadaran seseorang sangatlah pribadi dan karenanya berifat objektif. Keadaan kesadaran yang berubah ubah dapat mempunyai bentuk yang bermaam-macam, mulai dari selingan melawan sampai pada keadaan bingung dan penyimpngan persepsi yang disebabkan lh mabuk karena obat bius atau alkohol.
D.   Kesadaran
Kesadaran sering digunakan sebagai istilah yang mencakup pengertian persepsi, pemikiran, perasaan, dan ingatan yang aktif pada saat bertamu. Dengan pengertian ini kesadaran sama artinya dengan mawas diri (awareness). Namun, seperti apa yang kita lihat, kesadaran juga mencakup persepsi dan pemikiran yang secara samar-samar didasar ioleh individu sehingg akhirnya perhatian terpusat.Oleh sabab itu ada tingkatan mawas diri (awareness) dalam kesadaran.
Selama 20 tahun terakhir, orientasi kognitif para psikolog yang makin meningkat bersamaan dengan perkembangan lainnya, telah membangkitkan kembali perhatian orang pada kesadaran.
 Beberapa Kesadaran Aktif dan Pasif
Terdapat dua pebedaan dasar antara dua macam kesadaran yang merujukkan sifat jaga biasa: Kesadaran pasif, dimana seseorang bersikap menerima apa yang terjadi pada saat itu dan kesadaran aktif, yang menitikberatkan pada inisiatif dan mencari, atau merencanakan berbagai kemungkinan dimasa depan (Deikman,1971). Menerima informasi dari lingkungan merupakan fungsi utama system sensorik tubuh. Pengalaman sensorik tercampur secara konfleks dengan ingatan, fantasi/khayal, dan impian_ kesemuanya data diwujudkan dalam kesadaran pasif. Disamping memberikan pengetahuan, stimulasi sensorik merupakan dasar kepuasan estetik. Budaya tandingan (counter culture) tahun 1960an menekankan adanya cara-cara kesadaran pasif, yang member nilai tinggi pada kepekaan untuk saat ini dan ketidakacuhan akan urusan masa lalu dan akan datang. Kebanyakan ide ini didasari oleh praktek keagamaan di Timur, seperti yoga, dimana kepribadiaan seseorang dilepas dengan jalan menyatukan diri dengan objek meditasi sehingga tercapai ketenangan atau kebahagiaan diri.
Daya penerimaan atau kepekaan hanya merupakan bagian kesadaran. Perencanaan yang aktif merupakan bagian utama dalam kehidupan mental, tidak peduli apakah rencana tersebut sederhana atau siap dilaksanakan (“saya akan memasukkan surat kedalam bis di pojok jalan itu”) atau untuk jangka panjang (“Saya akan menjadi seorang ahli hukum”). Perbedaan antara kesadaran Aktif dan Pasif tidaklah terlalu tajam. Pikiran bergerak melalui kedua jalur kesadaran ini dan didalam kedua jalur ini pula alur berfikir sangat dekat dengan kesadaran.

Proses Pada Tepi Kesadaran
 Dalam berlomba untuk mendapatkan perhatian,beberapa benda atau peristiwa mempunyai kelebihan tertentu atas yang lainnya karena sifata yang ada padanya seperti intensitas, kejutan (surprise) atau perubahan. Stimulus lain lebih menguntugkan karena mencrminkan minat atau kesenagan orang yang menghayati .Apapun sebabnya, stimulus ini dapt menangkap pusat perhatian orang yang menghayati seperti sinar senter yang menembus kegelapan akan menyebabkan stimulus menjadi pusat kesadaran. Tetapi kebanyakan terjadi pada tepi kesadaran.
Banyak stimulus yang tidak secara sadar dihayati dapat diketahui.Contoh: Kita mungkin saja tidak menyadari bunyi dentang sebuah jam. Setelah berdentang beberapa kali, baru kita sadari, kemudian kita kembali dan menghitung dentang yang tidak kita dengar sebelumnya.[2]

Freud Dan Kesadaran Tidak Sadar
Menurut Teori Psikoanitik Freud dan pengikutnya, terdapat pula ingatan lain yang tidak dapat atau sangat sulit diingat kembali. Teori ini menamakan ingatan semacam ini tidak sadar”. Untuk alas an emosional atau motifasi, freud mengatakan bahwa ingatan sadar dan keinginan dapat di tekan (repressed) yaitu dialihkan pada tidak sadar, yang sebetulnya ingatan tersebut masih aktif walaupun tidak dapat diingat lagi. Dalam beberapa hal, repressi dapat mengalihkan pemikiran yang tidk dapat diterima (unacceptable thoughts) menjadi tidak sadar sebelum pemikiran tersebut hadir dalam keadaan sadar.




[1] Rita l. Atkinson, Richard c. Atkinson, Ernest r. Hilgard, Agus Dharma, Michael Adryanto. Pengantar psikologi. Hal.341
[2] Op.cit,. hal. 250

Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu Dakwah

Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu Dakwah
1.     Ontologi Ilmu Dakwah
Kata ontology berasal dari bahasa yunani, yaitu : on/ontos yang berarti ‘’ada’’, dan logos yang artinya ‘’ilmu’’. Jadi, ontology ialah ilmu tentang yang ada. Ontologi adalah cabang metafisika mengenai realitas yang berusaha mengungkap cirri-ciri segala yang ada, baik cirri-cirinya universal, maupun yang khas. Menurut jujun S. Suriasumantri, ontology embahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang ‘’ada’’.
Landasan ontologis suatu pengetahuan mengacu kepada apa yang digarap dalam penela’ahannya, yakni apa yang hendak diketahui melalui kegiatan penela’ahan itu. Aspek ontologi dalam ilmu dakwah berkaitan dengan apa yang menjadi objek kajian pada ilmu tersebut. Obyek kajian ilmu dakwah terbagi dua bagian, yaitu: obyek material dan obyek formal.
Amrullah Achmad berpendapat, obyek material ilmu dakwah adalah semua aspek ajaran Islam (Al-Qur’an dan Al-Sunnah), hasil ijtihad serta realisasinya dalam sistem pengetahuan, teknologi, sosial, hukum, ekonomi, pendidikan dan lainnya, khususnya kelembagaan Islam. Sedangkan obyek formalnya yaitu kegiatan mengajak umat manusia supaya kembali kepada fitrahnya sebagai muslim dalam seluruh aspek kehidupannya.
Berdasarkan obyek yang ditelaahnya, maka ilmu dakwah dapat disebut sebagai suatu ilmu pengetahuan yang sifatnya empiric maupun pemikiran. Obyek kajian ini berkaitan dengan aspek kehidupan manusia, sosial, kehidupan agama, pemikiran, budaya, estetika dan filsafat yang bisa diuji serta diverifikasi. Ilmu dakwah mempelajari dan memberikan misi yang berkaitan dengan ajaran Islam bagi kehidupan manusia.[1]
2.     Epistemologi Ilmu Dakwah
Istilah Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme yang diartikan sebagai pengetahuan atau kebenaran, dan logos yang berarti pikiran; kata atau teori. Dengan demikian, secara etimologis, Epistemologi dapat diartikan sebgai ‘’ teori pengetahuan’’. Epistemologi ialah cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat ilmu. Yakni menyelidiki keaslian pengetahuan, struktur, metode dan validitas pengetahuan.
Hal pertama yang harus dijawab adalah kondisi apa yang mesti dibangun dan seharusnya ada dalam perangkat dakwah?, mengapa kondisi tersebut mesti dibangun?. Jawabannya, bahwa faktor moralitas sebagai dimensi moral keagamaan merupakan salah satu syarat yang mempunyai peranan penting dalam aplikasi dakwah di masyaraat. Artinya, perilaku dakwah harus mencerminkan akhlak yang memiliki kandungan syarat dari perbuatan baik. Syarat tersebut adalah, suatu pebuatan bisa dikatakan baik apabila meliputi: niat baik, cara yang baik, temasuk didalamnya hukum positif dan hokum agama, serta tujuan yang baik pula. Itu semua mesti lahir dari nuansa batin yang paling dalam, yakni mulai dari diri sendiri. Dalam berdawah konsep ‘’ibda’ binafsik (mulai dari diri sendiri) jauh lebih bermakna untuk mengubah tatanan masyarakat yang ada, dari pada sekedar menyuruh kepada kebaikan.
Dalam tradisi keilmuan keislaman, setidaknya ada tiga bentuk epistemology yang berkembang, yakni : epistemologi bayani, epistemologi ‘irfani dan epistemologi burhani. Secara etimologis, bayani berarti: penjelasan, pernyataan, ketetapan. Sedangkan secara terminologis, bayani mengandung arti pola pikir yang bersumber pada nash, ijma’ dan ijtihad.
‘irfani pola pikirnya berpangkal pada dzauq, qalb atau intuisi. Pada dataran ini, dalam hubungannya dengan dakwah tidak begitu banyak berpengaruh terhadap sumber pengetahuannya, mengingat dakwah pada dasarnya lebih kepada persoalan perubahan sosial dan transformasi nilai Islam yang kongkret dan rasional.
Epistemologi burhani bersumber pada aktifitas intelektual untuk menetapkan kebenaran proposisi dengan metode dedukatif, yakni dengan cara mengaitkan proposisi satu dengan proposisi lainnya yang bersifat aksiomatik. Metode ini pertama kali dikembangkan di Yunani melalui proses panjang dan puncaknya pada Aristoteles. Metode ini, biasa disebut Aristoteles dengan sebutan analisis, yaitu menguraikan ilmu atas dasar prinsip-prinsipnya. Epistemologi burhani inilah yang lebih kental dengan sumber dakwah Islam setelah epistemology bayani.
Mendapatkan pengetahuan dalam ilmu dakwah berasal dari teks atau nash (al-Qur’an dan al-sunnah) sebagai otoritas suci. Pada dataran ini, secara keilmuwan lazim disebut dakwah normatif, yang memiliki karakteristik lebih tetap, mutlak dan tidak berubah-ubah. Adapun secara burhani, bersumber dari realtas, termasuk didalamnya ilmu sosia, alam dan kemanusiaan. Pada dataran ini, secara keilmuwan lazim disebut sebagai dakwah historis, yang memiliki karakteristik lebih terbuka, mengalami perubahan, dinamis dan berubah-ubah berdasarkan paradigm dakwah itu sendiri.
3.     Aksiologi Ilmu Dakwah
Aksiologis berarti teori tentang nilai, dalam kaitannya dengan Ilmu Dakwah yang secara etimologis berarti panggilan/ajakan untuk memahami kebenaran (teologis) Islam, maka nilai kebenaran mendasar merupakan landasan aksiologis bagi pengembangan dakwah. Kedudukan dakwah sebagai ilmu, dapat ditemukan pada argument yang dapat menjawab sejauh mana dakwah memiliki kriteria sebagai ilmu. kriteria tersebut mencakup : pertama, sejauh mana dakwah memiliki argumen atas struktur yang jelas dari ilu yang menyampaikan dan mengjak orang untuk mengakui kebenaran teologis tertentu. Kejelasan struktur manjadi sangat penting, karena kebenaran yang hendak disampaikan oleh Ilmu dakwah pada dasarnya merupakan kebenaran transendental yang sering ‘tidak terjangkau’ oleh sudut pandang ilmiah yang secara mayoritas dianut oleh ilmuwan itu sendiri. Kedua, menyangkut kejelasan Ilmu dakwah yang dapat dipertanggungjawabkan secara sisitematik. Ketiga, menyangkut pertanggungjawaban metodologis dakwah sebagai Ilmu. setiap ilmu pengetahuan disamping harus dapat menjelaskan apa yang menjadi obyek kajiannya atau obyek materialnya,juga harus dapat mempertanggungjawabkan sudut pandang atau obyek formal yang dipakai memahami obyek kajiannya. Keempat, sejauh mana dakwah sebagai ilmu dapat mempertanggungjawabkan produk-produknya berangkat dari proses logika yang jelas keterkaitan antara premis dan kesimpulannya.
Berdasarkan uraian tersebut dapat ditegaskan, bahwa yang menjadi landasan aksiologi ilmu dakwah adalah nilai-nilai kebenaran teologisyang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah yang harus diimplementasikan dalam realitas kehidupan sosial, sehingga nilai-nilai tersebut menjelma sebagi ‘’rahmatan li al-alamin’’



[1] Rubiyanah, Ade Masturi, Pengantar Ilmu Dakwah, Lemlit UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta,2010, h.9