Senin, 02 November 2015

Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu Dakwah

Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu Dakwah
1.     Ontologi Ilmu Dakwah
Kata ontology berasal dari bahasa yunani, yaitu : on/ontos yang berarti ‘’ada’’, dan logos yang artinya ‘’ilmu’’. Jadi, ontology ialah ilmu tentang yang ada. Ontologi adalah cabang metafisika mengenai realitas yang berusaha mengungkap cirri-ciri segala yang ada, baik cirri-cirinya universal, maupun yang khas. Menurut jujun S. Suriasumantri, ontology embahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang ‘’ada’’.
Landasan ontologis suatu pengetahuan mengacu kepada apa yang digarap dalam penela’ahannya, yakni apa yang hendak diketahui melalui kegiatan penela’ahan itu. Aspek ontologi dalam ilmu dakwah berkaitan dengan apa yang menjadi objek kajian pada ilmu tersebut. Obyek kajian ilmu dakwah terbagi dua bagian, yaitu: obyek material dan obyek formal.
Amrullah Achmad berpendapat, obyek material ilmu dakwah adalah semua aspek ajaran Islam (Al-Qur’an dan Al-Sunnah), hasil ijtihad serta realisasinya dalam sistem pengetahuan, teknologi, sosial, hukum, ekonomi, pendidikan dan lainnya, khususnya kelembagaan Islam. Sedangkan obyek formalnya yaitu kegiatan mengajak umat manusia supaya kembali kepada fitrahnya sebagai muslim dalam seluruh aspek kehidupannya.
Berdasarkan obyek yang ditelaahnya, maka ilmu dakwah dapat disebut sebagai suatu ilmu pengetahuan yang sifatnya empiric maupun pemikiran. Obyek kajian ini berkaitan dengan aspek kehidupan manusia, sosial, kehidupan agama, pemikiran, budaya, estetika dan filsafat yang bisa diuji serta diverifikasi. Ilmu dakwah mempelajari dan memberikan misi yang berkaitan dengan ajaran Islam bagi kehidupan manusia.[1]
2.     Epistemologi Ilmu Dakwah
Istilah Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme yang diartikan sebagai pengetahuan atau kebenaran, dan logos yang berarti pikiran; kata atau teori. Dengan demikian, secara etimologis, Epistemologi dapat diartikan sebgai ‘’ teori pengetahuan’’. Epistemologi ialah cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat ilmu. Yakni menyelidiki keaslian pengetahuan, struktur, metode dan validitas pengetahuan.
Hal pertama yang harus dijawab adalah kondisi apa yang mesti dibangun dan seharusnya ada dalam perangkat dakwah?, mengapa kondisi tersebut mesti dibangun?. Jawabannya, bahwa faktor moralitas sebagai dimensi moral keagamaan merupakan salah satu syarat yang mempunyai peranan penting dalam aplikasi dakwah di masyaraat. Artinya, perilaku dakwah harus mencerminkan akhlak yang memiliki kandungan syarat dari perbuatan baik. Syarat tersebut adalah, suatu pebuatan bisa dikatakan baik apabila meliputi: niat baik, cara yang baik, temasuk didalamnya hukum positif dan hokum agama, serta tujuan yang baik pula. Itu semua mesti lahir dari nuansa batin yang paling dalam, yakni mulai dari diri sendiri. Dalam berdawah konsep ‘’ibda’ binafsik (mulai dari diri sendiri) jauh lebih bermakna untuk mengubah tatanan masyarakat yang ada, dari pada sekedar menyuruh kepada kebaikan.
Dalam tradisi keilmuan keislaman, setidaknya ada tiga bentuk epistemology yang berkembang, yakni : epistemologi bayani, epistemologi ‘irfani dan epistemologi burhani. Secara etimologis, bayani berarti: penjelasan, pernyataan, ketetapan. Sedangkan secara terminologis, bayani mengandung arti pola pikir yang bersumber pada nash, ijma’ dan ijtihad.
‘irfani pola pikirnya berpangkal pada dzauq, qalb atau intuisi. Pada dataran ini, dalam hubungannya dengan dakwah tidak begitu banyak berpengaruh terhadap sumber pengetahuannya, mengingat dakwah pada dasarnya lebih kepada persoalan perubahan sosial dan transformasi nilai Islam yang kongkret dan rasional.
Epistemologi burhani bersumber pada aktifitas intelektual untuk menetapkan kebenaran proposisi dengan metode dedukatif, yakni dengan cara mengaitkan proposisi satu dengan proposisi lainnya yang bersifat aksiomatik. Metode ini pertama kali dikembangkan di Yunani melalui proses panjang dan puncaknya pada Aristoteles. Metode ini, biasa disebut Aristoteles dengan sebutan analisis, yaitu menguraikan ilmu atas dasar prinsip-prinsipnya. Epistemologi burhani inilah yang lebih kental dengan sumber dakwah Islam setelah epistemology bayani.
Mendapatkan pengetahuan dalam ilmu dakwah berasal dari teks atau nash (al-Qur’an dan al-sunnah) sebagai otoritas suci. Pada dataran ini, secara keilmuwan lazim disebut dakwah normatif, yang memiliki karakteristik lebih tetap, mutlak dan tidak berubah-ubah. Adapun secara burhani, bersumber dari realtas, termasuk didalamnya ilmu sosia, alam dan kemanusiaan. Pada dataran ini, secara keilmuwan lazim disebut sebagai dakwah historis, yang memiliki karakteristik lebih terbuka, mengalami perubahan, dinamis dan berubah-ubah berdasarkan paradigm dakwah itu sendiri.
3.     Aksiologi Ilmu Dakwah
Aksiologis berarti teori tentang nilai, dalam kaitannya dengan Ilmu Dakwah yang secara etimologis berarti panggilan/ajakan untuk memahami kebenaran (teologis) Islam, maka nilai kebenaran mendasar merupakan landasan aksiologis bagi pengembangan dakwah. Kedudukan dakwah sebagai ilmu, dapat ditemukan pada argument yang dapat menjawab sejauh mana dakwah memiliki kriteria sebagai ilmu. kriteria tersebut mencakup : pertama, sejauh mana dakwah memiliki argumen atas struktur yang jelas dari ilu yang menyampaikan dan mengjak orang untuk mengakui kebenaran teologis tertentu. Kejelasan struktur manjadi sangat penting, karena kebenaran yang hendak disampaikan oleh Ilmu dakwah pada dasarnya merupakan kebenaran transendental yang sering ‘tidak terjangkau’ oleh sudut pandang ilmiah yang secara mayoritas dianut oleh ilmuwan itu sendiri. Kedua, menyangkut kejelasan Ilmu dakwah yang dapat dipertanggungjawabkan secara sisitematik. Ketiga, menyangkut pertanggungjawaban metodologis dakwah sebagai Ilmu. setiap ilmu pengetahuan disamping harus dapat menjelaskan apa yang menjadi obyek kajiannya atau obyek materialnya,juga harus dapat mempertanggungjawabkan sudut pandang atau obyek formal yang dipakai memahami obyek kajiannya. Keempat, sejauh mana dakwah sebagai ilmu dapat mempertanggungjawabkan produk-produknya berangkat dari proses logika yang jelas keterkaitan antara premis dan kesimpulannya.
Berdasarkan uraian tersebut dapat ditegaskan, bahwa yang menjadi landasan aksiologi ilmu dakwah adalah nilai-nilai kebenaran teologisyang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah yang harus diimplementasikan dalam realitas kehidupan sosial, sehingga nilai-nilai tersebut menjelma sebagi ‘’rahmatan li al-alamin’’



[1] Rubiyanah, Ade Masturi, Pengantar Ilmu Dakwah, Lemlit UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta,2010, h.9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar