Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu Dakwah
1.
Ontologi Ilmu Dakwah
Kata ontology berasal dari bahasa
yunani, yaitu : on/ontos yang berarti ‘’ada’’, dan logos yang artinya ‘’ilmu’’.
Jadi, ontology ialah ilmu tentang yang ada. Ontologi adalah cabang metafisika
mengenai realitas yang berusaha mengungkap cirri-ciri segala yang ada, baik
cirri-cirinya universal, maupun yang khas. Menurut jujun S. Suriasumantri,
ontology embahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu,
atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang ‘’ada’’.
Landasan ontologis suatu pengetahuan
mengacu kepada apa yang digarap dalam penela’ahannya, yakni apa yang hendak
diketahui melalui kegiatan penela’ahan itu. Aspek ontologi dalam ilmu dakwah
berkaitan dengan apa yang menjadi objek kajian pada ilmu tersebut. Obyek kajian
ilmu dakwah terbagi dua bagian, yaitu: obyek material dan obyek formal.
Amrullah Achmad berpendapat, obyek material ilmu dakwah adalah
semua aspek ajaran Islam (Al-Qur’an dan Al-Sunnah), hasil ijtihad serta
realisasinya dalam sistem pengetahuan, teknologi, sosial, hukum, ekonomi,
pendidikan dan lainnya, khususnya kelembagaan Islam. Sedangkan obyek formalnya
yaitu kegiatan mengajak umat manusia supaya kembali kepada fitrahnya sebagai
muslim dalam seluruh aspek kehidupannya.
Berdasarkan obyek yang ditelaahnya,
maka ilmu dakwah dapat disebut sebagai suatu ilmu pengetahuan yang sifatnya
empiric maupun pemikiran. Obyek kajian ini berkaitan dengan aspek kehidupan
manusia, sosial, kehidupan agama, pemikiran, budaya, estetika dan filsafat yang
bisa diuji serta diverifikasi. Ilmu dakwah mempelajari dan memberikan misi yang
berkaitan dengan ajaran Islam bagi kehidupan manusia.[1]
2.
Epistemologi Ilmu Dakwah
Istilah Epistemologi berasal dari
bahasa Yunani, yaitu episteme yang diartikan sebagai pengetahuan atau
kebenaran, dan logos yang berarti pikiran; kata atau teori. Dengan demikian,
secara etimologis, Epistemologi dapat diartikan sebgai ‘’ teori pengetahuan’’.
Epistemologi ialah cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat ilmu.
Yakni menyelidiki keaslian pengetahuan, struktur, metode dan validitas
pengetahuan.
Hal pertama yang harus dijawab adalah kondisi apa yang mesti
dibangun dan seharusnya ada dalam perangkat dakwah?, mengapa kondisi tersebut
mesti dibangun?. Jawabannya, bahwa faktor moralitas sebagai dimensi moral
keagamaan merupakan salah satu syarat yang mempunyai peranan penting dalam
aplikasi dakwah di masyaraat. Artinya, perilaku dakwah harus mencerminkan
akhlak yang memiliki kandungan syarat dari perbuatan baik. Syarat tersebut
adalah, suatu pebuatan bisa dikatakan baik apabila meliputi: niat baik, cara
yang baik, temasuk didalamnya hukum positif dan hokum agama, serta tujuan yang
baik pula. Itu semua mesti lahir dari nuansa batin yang paling dalam, yakni
mulai dari diri sendiri. Dalam berdawah konsep ‘’ibda’ binafsik (mulai
dari diri sendiri) jauh lebih bermakna untuk mengubah tatanan masyarakat yang
ada, dari pada sekedar menyuruh kepada kebaikan.
Dalam tradisi keilmuan keislaman,
setidaknya ada tiga bentuk epistemology yang berkembang, yakni : epistemologi
bayani, epistemologi ‘irfani dan epistemologi burhani. Secara etimologis,
bayani berarti: penjelasan, pernyataan, ketetapan. Sedangkan secara
terminologis, bayani mengandung arti pola pikir yang bersumber pada nash, ijma’
dan ijtihad.
‘irfani pola pikirnya berpangkal pada dzauq, qalb atau intuisi.
Pada dataran ini, dalam hubungannya dengan dakwah tidak begitu banyak
berpengaruh terhadap sumber pengetahuannya, mengingat dakwah pada dasarnya
lebih kepada persoalan perubahan sosial dan transformasi nilai Islam yang
kongkret dan rasional.
Epistemologi burhani bersumber pada
aktifitas intelektual untuk menetapkan kebenaran proposisi dengan metode
dedukatif, yakni dengan cara mengaitkan proposisi satu dengan proposisi lainnya
yang bersifat aksiomatik. Metode ini pertama kali dikembangkan di Yunani
melalui proses panjang dan puncaknya pada Aristoteles. Metode ini, biasa
disebut Aristoteles dengan sebutan analisis, yaitu menguraikan ilmu atas dasar
prinsip-prinsipnya. Epistemologi burhani inilah yang lebih kental dengan sumber
dakwah Islam setelah epistemology bayani.
Mendapatkan pengetahuan dalam ilmu dakwah berasal dari teks atau
nash (al-Qur’an dan al-sunnah) sebagai otoritas suci. Pada dataran ini, secara
keilmuwan lazim disebut dakwah normatif, yang memiliki karakteristik lebih
tetap, mutlak dan tidak berubah-ubah. Adapun secara burhani, bersumber dari
realtas, termasuk didalamnya ilmu sosia, alam dan kemanusiaan. Pada dataran
ini, secara keilmuwan lazim disebut sebagai dakwah historis, yang memiliki
karakteristik lebih terbuka, mengalami perubahan, dinamis dan berubah-ubah
berdasarkan paradigm dakwah itu sendiri.
3.
Aksiologi Ilmu Dakwah
Aksiologis berarti teori tentang
nilai, dalam kaitannya dengan Ilmu Dakwah yang secara etimologis berarti
panggilan/ajakan untuk memahami kebenaran (teologis) Islam, maka nilai kebenaran
mendasar merupakan landasan aksiologis bagi pengembangan dakwah. Kedudukan
dakwah sebagai ilmu, dapat ditemukan pada argument yang dapat menjawab sejauh
mana dakwah memiliki kriteria sebagai ilmu. kriteria tersebut mencakup :
pertama, sejauh mana dakwah memiliki argumen atas struktur yang jelas dari ilu
yang menyampaikan dan mengjak orang untuk mengakui kebenaran teologis tertentu.
Kejelasan struktur manjadi sangat penting, karena kebenaran yang hendak
disampaikan oleh Ilmu dakwah pada dasarnya merupakan kebenaran transendental
yang sering ‘tidak terjangkau’ oleh sudut pandang ilmiah yang secara mayoritas
dianut oleh ilmuwan itu sendiri. Kedua, menyangkut kejelasan Ilmu dakwah yang
dapat dipertanggungjawabkan secara sisitematik. Ketiga, menyangkut pertanggungjawaban
metodologis dakwah sebagai Ilmu. setiap ilmu pengetahuan disamping harus dapat
menjelaskan apa yang menjadi obyek kajiannya atau obyek materialnya,juga harus
dapat mempertanggungjawabkan sudut pandang atau obyek formal yang dipakai
memahami obyek kajiannya. Keempat, sejauh mana dakwah sebagai ilmu dapat
mempertanggungjawabkan produk-produknya berangkat dari proses logika yang jelas
keterkaitan antara premis dan kesimpulannya.
Berdasarkan uraian tersebut dapat
ditegaskan, bahwa yang menjadi landasan aksiologi ilmu dakwah adalah
nilai-nilai kebenaran teologisyang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah yang
harus diimplementasikan dalam realitas kehidupan sosial, sehingga nilai-nilai
tersebut menjelma sebagi ‘’rahmatan li al-alamin’’
[1] Rubiyanah, Ade Masturi, Pengantar Ilmu Dakwah, Lemlit UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Jakarta,2010, h.9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar