Paradigma dalam Metode Kualitatif
John W. Creswell dalam bukunya Research Design Pendekatan
Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed lebih memilih menggunakan istilah
Pandangan-dunia (worldviews) karena memiliki arti kepercayaan dasar yang
memandu tindakan. Peneliti lain lebih suka menyebutnya Paradigma , Epistemologi
dan ontologi atau metodologi penelitian yang telah diterima secara luas.
(John W. Creswell, 2010: 7 ).
Kuhn ( 1962 dalam The
Structure of Scientific Revolutions mendefinisikan ‘ Paradigma
Ilmiah sebagai contoh yang diterima tentang praktek ilmiah sebenarnya,
contoh-contoh termasuk hukum, teori, aplikasi, dan instrumentalisasi secara
bersama-sama yang menyediakan model yang darinya muncul tradisi yang koheren
dari penelitian ilmiah.[1]
Capra (1996) mendefinisikan paradigma sebagai ‘konstelasi konsep,
nilai-nilai persepsi dan praktek yang dialami bersama oleh masyarakat, yang
membentuk visi khusus tentang realitas sebagai dasar tentang cara
mengorganisasian dirinya.[2]
Empat pandangan dunia dalam metode Kualitatif
1.
Pandangan-Dunia
Post-positivisme
Asumsi-asumsi
post-positivis merepresentaikan bentuk tradisional penelitian, yang
kebenarannya lebih sering disematkan untuk penelitian kuantitatif ketimbang
penelitian kualitatif.[3]
Pandangan dunia ini terkadang disebut sebagai metode saintifik atau
penelitian sains. Ada pula yang menyebutnya sebagai penelitian poritivis/post-positivis,sains
empiris, dan post positivisme, istilah terakhir disebut post-positivisme. Kaum Post-Positivis
mempertahankan filsafat deterministik bahwa sebab-sebab ( faktor-faktor
kausatif ) sangat mungkin menentukan akibat atau hasil akhir.
Pengetahuan yang
berkembang melalui kacamata kaum post-positivis selalu didasarkan pada
observasi dan pengujian yang sangat cermat terhadap realitas objektif yang
muncul di dunia ‘’luar sana.’’ Untuk itulah, melakukan observasi dan meneliti
perilaku individu-individu dengan berlandaskan pada ukuran angka-angka dianggap
sebagai aktivitas yang amat penting bagi kaum post-positivis. Akibatnya, muncul
hukum-hukum atau teori-teori yangmengatur dunia, yang menuntut adanya pengujian
dan verifikasi atas kebenaran teori-teori tersebut agar dunia ini dapat
dipahami oleh manusia. Untuk itulah, dalam metode saintifik, salah satu pendekatan
penelitian yang telah disepakati oleh kaum post-positivis, seorang peneliti
harus mengawali penelitiannya dengan menguji teori tertentu, lalu mengumpulkan
data baik yang mendukung maupun yang membantah teori tersebut, baru kemudian
membuat perbaikan-perbaikan lanjutan sebelum dilakukan pengujian ulang.[4]
Phillips dan Burbules (
2000 ). Sejumlah asumsi dasar yang menjadi inti dalam paradigma penelitian
post-positivis, antara lain[5]:
1.
Pengetahuan
bersifat konjektural/terkaan ( dan anti fondasional/tidak berlandasan apapun ).
Bahwa kita tidak akan pernah mendapatkan kebenaran absolut. Untuk itulah, bukti
yang dibangun dalam penelitian sering kali lemah dan tidak sempurna. Karena
alasan ini pula, banyak peneliti yang berujar bahwa mereka tidak dapat
membuktikan hipotesisnya; bahkan, tak jarang
mereka juga gagal untuk menyangkal hipotesisnya.[6]
2.
Penelitian
merupakan proses membuat klaim-klaim, kemudian menyaring sebagian klaim
tersebut menjadi ‘’klain-klaim lain’’ yang kebenarannya jauh lebih kuat.
Sebagian besar penelitian kuantitatif, misalnya, selalu diawali dengan
pengajuan atas suatu teori.[7]
3.
Pengetahuan
dibentuk oleh data, bukti, dan pertimbangan-pertimbangan logis. Dalam
praktiknya, peneliti mengumpulkan informasi dengan menggunakan instumen-instrumen
pengukuran tertentu yang diisi oleh partisipan atau dengan melakukan observasi
mendalam di lokasi penelitian.[8]
4.
Penelitian
harus mampu mengembangkan statemen-statemen yang dapat menjelaskan situasi yang
sebenernya atau dapat mendeskripsikan relasi kausalitas dari suatu persoalan.
Dalam penelitian kuantitatif, peneliti membuat relasi antarvariabel dan
mengemukakannya dalam bentuk pertanyaan dan hipotesis.
5.
Aspek
terpenting dalam penelitian adalah sikap objektif; para peneliti harus kembali
menguji metode-metode dan kesimpulan-kesimpulan yang sekiranya mengandung bias.
Untuk itulah dalam penelitian kuantitatif, standar validitas dan reliabilitas
menjadi dua aspek penting yang wajib dipertimbangkan oleh peneliti.[9]
2.
Pandangan
Dunia Konstruktivisme Sosial
Konstruktivisme sosial
meneguhkan bahwa individu-individu selalu berusaha memahami dunia di mana
mereka hidup dan bekerja.
Terkait dengan konstruktivisme ini, Crotty ( 1998 ) memperkenalkan
sejumlah asumsi :
1.
Makna-makna
di konstruksi oleh manusia agar mereka bisa terlibat dengan dunia yang tengah
mereka tafsirkan . para peneliti kualitatif cenderung menggunakan pertanyaan-pertanyaan
terbuka agar partisipan dapat mengungkapkan pandangan-pandangannya.[10]
2.
Manusia
senantiasa terlibat dengan dunia mereka dan berusaha memahaminya berdasar
perspektif historis dan sosial mereka sendiri.[11]
3.
Yang
menciptakan makna pada dasarnya adalah lingkungan sosial, yang muncul di dalam dan
di luar interaksi dengan komunitas manusia.[12]
3.
Pandangan
Dunia Advokasi dan Partisipatoris
Pandangan Dunia Advokasi dan Partisipatoris
berasumsi bahwa penelitian harus dihubungkan dengan politik dan agenda politis.
Untuk itulah, penelitian ini pada umumnya memiliki agenda aksi demi reformasi
yang diharapkan dapat mengubah kehidupan para partisipan, institusi-institusi
di mana mereka hidup dan bekerja, dan kehidupan peneliti sendiri.[13]
Dalam penelitian ini, para peneliti harus
bertindak secara kolaboratif agar nantinya tidak ada partisipan yang
terpinggirkan dalam hasil penelitian mereka. Bahkan, para partisipan dapat
membantu merancang pertanyaan-pertanyaan, mengumpulkan data, menganalisis
informasi, atau mencari hibah-hibah penelitian.[14] Penelitian
advokasi menyediakan sarana bagi partisipan untuk menyuarakan pendapat dan hak-hak
mereka yang selama ini tergadaikan.[15]
4.
Pandangan
Dunia Pragmatik
Pragmatisme sebagai pandangan dunia lahir
dari tindakan-tindakan, situasi-situasi, dan konsekuensi-konsekuensi yang sudah
ada, dan bukan dari kondisi-kondisi sebelumnya ( seperti dalam kondisi
post-positivisme ). Sebagai salah satu paradigma filosofis untuk penelitian
metode campuran, Tashakkori dan Teddlie (1998), Morgan (2007), dan Patton
(1990) menekankan pentingnya paradigma pragmatik ini bagi para metode campuran,
yang pada umumnya harus berfokus pada masalah-masalah penelitian dalam lmu
sosial humaniora, kemudian menggunakan pendekatan beragam untuk memperoleh
pengetahuan yang lebih mendalam tentang problem-problem tersebut.[16]
DAFTAR PUSTAKA
Creswell, John W, Research Design Pendekatan Kualitatif,
Kuantitatif dan Mixed
( Pustaka Pelajar :
Yogyakarta ) 2007, Cet. I.
Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, ( PT
Remaja Rosdakarya : Bandung )
2009, Cet. 26.
[1] Lexy J.
Moeleong, metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya,
Bandung, 2009, h. 48.
[2] Lexy J.
Moeleong, h. 48.
[3] John W.
Creswell, Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2007, h.8.
[4] John W.
Creswell, h.10.
[5] John W.
Creswell, h.10.
[6] John
W.Creswell, h.10.
[7] John
W.Creswell, h.10
[8]John W.
Creswell, h.10
[9] John W.
Creswell, h.10
[10] John W.
Creswell, h.10
[11] John W.
Creswell, h.12.
[12] John W.
Creswell, h.12
[13] John W.
Creswell, h.14
[14] John W.
Creswell, h.14
[15] John W.
Creswell, h.14
[16] John W.
Creswell, h.16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar