A.
KELAHIRAN DAN MASA KANAK-KANAK
Agus salim adalah seseorang tokoh
pergerakan nasional, seorang pejuang Islam yang aktif sejak RI masih dijajah
Belanda dan besar sekali jasanya dalam ikut merintis kemerdekaan bangsa.
Menurut hikayatnya, pada awal
Oktober 1884, Angku Sutan Mohammad Salim sedang sangat terkesan oleh tokoh
utama dari buku yang sedang dibacanya. Namanya Masyudul Haq. Maka ketika
pada suatu hari ia sedang berada di surau dekat rumahnya di kota Gedang dan pesan
disampaikan kepadanya bahwa istrinya Siti Zainab baru saja melahirkan bayi
laki-laki sehat, segar, langsung timbul niatnya untuk member nama Mayudul Haq
kepada anaknya.
Nama adalah do’a, demikian kata nabi
Muhammad Rasulullah. Maka, apabila kemudian orang tua sepakat untuk memberi
nama ‘’Masyudul Haq” kepada bayi yang baru lahir, tak lebih ini hanya berisi
harapan semoga naknya kelak menjadi tokoh pembela kebenaran, sesuai arti dari
perkataan tersebut.
Tak disangka, nama yang bermakna
luhur itu dikemudian hari tenggelam ditelan oleh gelombang kebiasaan dan bayi
Masyudul haq yang tumbuh dewasa serta benar menjadi tokoh pembela umatnya itu,
dikenal secara luas baik ditingkat nasional maupun international hanya dengan
nama “ Agus Salim “, lain tidak. Timbul pertanyaan pada sementara orang,
bagaimana hal demikian bisa terjadi?, ternyata apa yang dapat ditelusuri
melalui saluran keluarga, hanyalah soal sepele, namun tampaknya pengaruhnya
besar. Ketika Masyudul Hak masih kecil, ia di asuh oleh seorang pembantu asal
Jawa, sebagaimana diketahui seorang pembantu dari Jawa mempunyai kebiasaan
untuk memanggil momongannya, anak majikannya dengan sebutan “ den bagus’ atau secara
pendek “ Gus”. Panggilan kesayangan yang mengandung unsur menghormati ini tanpa
terasa diikuti oleh kalngan yang lebih luas, yaitu dilingkungan sekolah dan
guru-guru Belanda. Sehingga terciptalah nama Agus yang menurut lidah orang
Belanda diucapkan sebagai “ August”.
B.
SEKOLAH ELS DI RIAU
Pada waktu usia Agus kecil mencapai
kira-kira enam tahun, ayahnya Sutan Mohamad salim diangkat oleh pemerintah Hindia-Belanda menjadi hoofdjaksa pada
Landraad di Riau en Orderhorigheden atau jaksa tinggi pada
Pengadilan Negri Riau dan daerah bawahannya, berkedudukan di Riau. kedudukan hoofdjaksa untuk orang
Indonesia ketika itu – orang belanda menyebut dengan istilah Inlanders- termasuk
tinggi dan sangat terhormat. Inilah sebabnya maka Agus dan Kakaknya dapat
diterima di Europeese Lagere School (E
L S) pada saat itu, yang menurut kebiasaan hanya menerima anak-anak keturunan
Eropa saja.
Pandai disekolah, Agus juga popular
diantara teman-temannya. Baik dikalangan bangsa sendiri maupun anak-anak bangsa
Eropa.
C.
SISWA HBS YANG BRILYAN
Setelah lulus Europeese Lagere
School (E L S). Agus Salim meninggalkan Riau ia dikirim ke
Batavia untuk dimasukan dalam sekolah menengah Hogere Burger School
(HBS), lagi-lagi suatu sekolah dimana tidak banyak ditemui orang Indonesia
disana. Murid Indonesia yang ketika itu ada ialah yang kemudian dikenal dengan
sebagai Prof. Husein Djajadinigrat. Selama jangka waktu lima tahun ini kembali
Agus Sallim berhasil mengesankan sekelilingknya, terutama para guru.karena ia
memang pandai dan menonjol dalam semua pelajaran, baik yang bidang bahasa, ilmu
sosial, ataupun ilmu pasti. Maka akhirnya ia lulus sebagai juara pertama untuk
bukan saja HBS dimana ia bersekolah tetapi juga untuk semua HBS di
Hindia-Belanda. Ketika itu di kawasan Hindia-Belanda ada tiga buah HBS yaitu di
Batavia atau Jakarta, Bandung dan Surabaya.
Berita tentang prestsi demikian
gemilang dari seorang remaja pribumi dialam kolonial Belanda dewasa itu. hingga
pada akhirnya berita itu sampai ketelinga seorang remaja putri dari keluarga
bangsawan di Jawa Tengah. Namanya Raden Ajeng Kartini. Remaja putri ini yang
kemudian kita semua mengenal sebagai pendekarnya kaum wanita Indonesia, ketika
itu Raden Ajeng Kartini sedang dilanda kemasygulan karena ia sangat
menginginkan untk melanjutkan studi nya ke Belanda, hingga akhirya ia
mengajukan permohonan beasiswa kepada pemerintah Hindia-Belanda, dan berkat
usaha yang gencar akhirnya Raden Ajeng Kartini menerima besluit atau
surat keputusan berisi penegasan bahwa permohonannya dikabulkan.
Namun nasib ternyata mnghendaki
lain. Di tahun 1903 itu Kartini masih tetap harus menghadapi tembok tradisi ,
orang tuanya tetap tidak mengizinkan anak gadisnya untuk pergi jauh sehingga
dengan berat hati Kartini sendiri terpaksa harus memutuskan untuk tidak pergi
ke Belanda.
Kemudian ia mengirimkan surat kepada
Ny. Abendanon Istri pejabat tinggi Belanda bidang pendidikan, yang mana didalam
surat tersebut Kartini menyebutkan bahwa ia mendengar tentang seorang pemuda
asal Sumatra bernama Agus Salim yang sangat pandai dan lulus HBS sebagai juara
pertama. Pemuda ini ingin melanjutkan
studi di Belanda di bidang kedokteran. Melalui istri pejabat tinggi Belanda
inilah Kartini selanjutnya menyampaikan imbauan
dan permohonan agar biaya bagi dirinya itu dilimpahkan saja kepada
pemuda Salim agar dapat mencapai cita-citanya yang tinggi. Bila masih ada
kekurangan dalam hal biaya, Kartini berniat akan ikut mengusahakan dari sumber
lain.
Agus Salim memang tak pernah
mendapatkan beasiswa dari pemerintah Hindia-Belanda. Tentang hal ini ada
beberapa anggapan yang dikemukakan oleh sumber yang berlainan. Ada anggapan misalnya
yang mengatakan bahwa Agus Salim telah
menolak tawaran Kartini sambil mengatakan “ kalau pemerintah Belanda mengirim
saya hanya karena anjuran Kartini dan bukan karena kemauan pemerintah, lebih
baik tidak…’’ kalangan pengamat lain sementara itu berpendapat bahwa anggpan
tersebut ini tidak masuk akal, karena Agus Salim tidak tahu akan adanya imbauan
kartini.
D.
BEKERJA DI JEDDAH
Seperti telah diceritakan sebelum
ini, setelah lulus secara gemilang dari HBS, Agus Salim menaruh minat untuk
meneruskan studi jurusan kedokteran di Negri Belanda. Tetapi ia juga sadar,
bahwa biaya studi amat mahal dan tak akan terpiul oleh orang tuanya. Maka
didukung oleh semua guru HBS karena merasa saying jika naka secerdas ini tidak
melanjutkan studinya kejenjang yang lebih tinggi lagi. Ia lalu mengajukan
permohonan beasiswa kepada pemerintah Hindia-Belanda. Jawaban atas permohonan
itu jelas, yaitu bahwa tidak ada beasiswa untuk Inlander.
Sementara itu ayahanda Agus Sutan
Mohamad Salim mendapat nasihat dai sekretaris Gubernur jendral agar mengajuan
permohonan bagi anaknya untuk mendapatkan persamaan status dengan orang
kelahiran Eropa.
Atas permohonan Sutan Mohamad Salim
yang diajukan pada tahun 1904, baru setahun kemudian datang jawaban yang isinya
: meluluskan permohonan bagi Jacob salim (kakak Agus) dan Agus Salim untuk
mendapatka persamaan status. Namun demikian, penyamaan status ini akhirnya tak
berbuah dengan pemberian beasiswa buat Agus Salim. Menurut lanjutan cuplikan
dari kuliah Agus Salim di Cornell University pada tahun 1953, duduk perkaranya
adalah demikian, ‘ ketika itu ia kembali bertemu Prof. Snouck Hurgronje. Ia
mengatakan bahwa menjadi dokter sebenarnya tak begitu memadai, bayarannya kecil.
Mungkin lupa bahwa imbalan yang dikatakan rendah menurut ukuran orang Eropa
itu, bagaimanapun termasuk tinggi untuk orang pribumi. Pendeknya ia
dinasihatkan agar aku tak usah studi dokter ke Belanda. Sebaliknya, ia
menwarkan gagasan yang menurut pendapatnya lebih baik. Maka pada suatu hari aku
menerima surat dari kementrian luar Negri Belanda yang juga ditanda tangani
oleh sekretaris gubernur jendral, menawarkan kepada saya untuk masuk dinas luar
Belanda, untuk menempati posisi di Jeddah, Saudi Arabia.
Dan lapangan pekerjaan yang
ditawarkan bukan dalam lingkungan Hindia Timur, melainkan di Negara lain
langsung dibawah pengawasan pemerintah Belanda.
Sementera itu, tentu saja ibunya
mengalami kecemasan yang amat mendalam mengenai keadaan Agus, karena konon setelah
lulus dari HBS di Batavia, konon kabarnya anak mereka tak tekun lagi pemelukan
agamanya, bisa dibayangkan betapa gundah dan khawatir kedua rang tua dan
keluarganya kalau-kalau sampai Agus Salim benar-benar tertarik pada agama
Kristen. Oleh karena itu ketika mendengar tawaran untuk bekerja di Jeddah,
keluarga Agus Salim khususnya Ibunya sangat menerima tawaran itu, karena
beranggapan bahwa dengan bekerjanya Agus Salim di Jeddah, Saudi Arabia, Agus
Salim bisa berguru kepada pamannya yang berada disana yang bernama “ Syech
Ahmad Khatib’’ tentang agama dan berharap pamannya itu bisa mengembalikan Agus
Salim kepada keyakinan beragama si pemuda Agus.
Singkat cerita, konon kabarnya Agus
Salim jatuh sakit, yang mana dia disana hanya seorang diri dan tak ada seorangpun
yang merawatnya , dan dikarenakan
keadaan Saudi Arabia pada awal abad ke-20 mash sedemikian rupa, sehingga
pamannya sendiri pun tak dapat menerimanya untuk tinggal, hanya karena ia
mempunyai anak gadis yang tanggung, maka dalam keadaan sakit Agus Salim
terpaksa harus sendiri, kecuali ia mau menikah dengan wanita yang sanggup
merawatnya.
Dengan latar belakang ini ia menikah
dengan wanita setempat yang merawatnya ketika ia sakit, dari perkawinan ini
lahirlah seorang anak perempuan, tetapi meninggal dunia pada waktu masih bayi.
Dalam menyusuri siapakah gerangan wanita
Arab istri pertama Agus Salim ini, hamper tidak ada seorangpun dari kalangan
keluarga yang tahu.
Ditengah-tengah keraguan itu
akhirnya toh muncul keterangan dari salah seorang keluarga yang menyebutkan
nama istripertama Agus Salim adalah : Ummu-dzaat saferiah. Kemudian menurut
adik ipar Agus Salim bahwa mereka menikah dengan baik-baik dan berpisah dengan
baik-baik pula.
E.
GERBANG PERKAWINAN
Untuk daerah kota Gedang memang
adalah lazim bahwa perkawinan terjadi antara saudara sepupu asalkan bukan
sesuku dilihat dari garis ibu. Pilihan segera jatuh kepada gadis manis berusia
18 tahun bernama Zaitun Nahar Al-Matsier yang hubungan darahnya dengan Agus
Salim masih dekat.
Dari hasil pernikahan itu, Zaitun
Nahar sebanyak 10 kali melahirkan anak
dalm jangka watu sekitar 25 tahun, mulai tahun 1913. Dari 10 anak itu 2
orang meninggal dunia ketika masih kecil, yaitu yang bernama Hadi anak ke-7 dan
Zuhra anak ke-10. Anak ke-5 dengan panggilan syauket meninggal sebagai pemuda
harapan bangsa dalam suatu pertempuran.
Menurut urutan ke-10 anak tersebut adalah :
1.
Theodora Alita, dengan panggilan Dolly yang menikah dengan Mr.
Soedjono Hardjosoediro.
2.
Jusuf Tewfik Sallim, dengan panggilan totok, menikah dengan
Agustine Budiarti
3.
Violet Hanifah dengan panggilan Yoyet, yang kemudian menjadi istri Djohan Syahruzah,
kini telah janda.
4.
Maria Zenobia, dengan panggilan adek, menikah dengan Drs. Hazil
Tanzil
5.
Ahmad Sjewket Salim, gugur dalam pertarungan di Lengkong di
makamkan di Taman Makam Pahlawan Tangerang.
6.
Islam Basari Salim, menikah dengan Arsyana.
7.
Abdul Hadi, meninggal ketika kecil.
8.
Siti Asiah, dengan panggilan Bibsy, menikah dengan Soenharyo, kini
janda.
9.
Zuhra, meninggal ketika kecil.
10.
Mansur Abdur Rachman Ciddiq, menikah dengan anak Agung Ayu Okka.
F.
ULAMA INTELEK
Tidak setiap orang pandai disebut
jenius. Karena orang yang jenius itu mempunya otak yang cemerlang, suatu
kepandaian yang luar biasa, lebih daripada brillian.
Dalam sejarah hidupnya H. Agus salim,
tidak saja sebagai pemimpin, politikus, wartawan, dan pengarang, melainkan juga ulama dan diplomat.
Bung Karno pernah menyatakan
pendapatnya tentang Agus Salim. The grand Old Man Haji Agus Salim adalah
seorang Ulama Intelek. Saya pernah meneguk air yang diberikan oleh Haji Agus
Salim, sambil ngelesot dibawah kakinya Haji Agus Salim. Saya merasa
berbahagia, bahwa saya ini dulu dapat minum air pemberian Tjokro, minum
pemberian Haji Agus Sallim.
Haji Agus Sali juga salah seorang
guru saya, terutama sekali tentang sosialisme dan politik internasional. Amat broad
–minded, amat terpelajar, amat ‘lucu’ (witty),’ ujar bung Karno
secara jujur.
Didalam pertemuan-pertemuan yang
kadang-kadang diadakan dengan para wakil state Departement yang di waktu
itu jauh dari pada manis terhadap kita, selalu kemahiran mendiang Haji Agus
Salim dalam perdebatan yang menguasai pembicaraan,’’ demikian Sjahrir. Dr.
Sukiman Wirjosandjojo pernah mengatakan, ‘’Almarhum Haji Agus Salim menduduki
tempat nomor dua sesudah mendiang ketua utma Tjoroaminoto dalam hirarki pucuk
pimpinan perjuangan umat Islam Indonesia, terutama PSII sebelum perang dunia
II.
Demikianlah berbagai pendapat dan komentar dari tokoh-tokoh
nasional tentang Haji Agus salim.
G.
BAPAK KAUM INTELEKTUAL MUSLIM INDONESIA
Kebesaran Agus Salim tidak dapat
diukur dengan kebesara K.H. A. Dahlan, pendiri Muhammadiyah, atau juga K.H.
Hasyim Asy’ari, bapak spiritual Nahdhatul Ulama, atau juga tidak dapat diukur
dengan peranan A. Hassan, tokoh persatuan Islam (Persis) dengan penanya yang
amat tajam dalam mengupas masalah hadith dan Hukum Islam. Juga sulit untuk
dibandingkan dengan peran Syekh Ahmad al-Sukarti, pengarah keagamaan paham
al-Irsyad. Tokoh Dahlan dan Hasyim Asy’ari telah mewariskan dua gerakan sosio-keagamaan
kepada bangsa Indonesia dalam bentuk Muhammadiyah dan NU yang maih menunjukkan
perkembangannya sekalipun ranjau-ranjau politik harus mereka hadapi dengan
sangat hati-hati.
Lalu apa warisan salim? Tidak mudah untuk dijawab.
H.
SALIM : MANUSIA
MERDEKA
Bila orang membaca tulisan-tulisan
Salim pada masa pra ataupun pasca kemerdekaan, orang akan merasakan betapa
kuatnya sikap dan pikiran bebas didalamnya.
Kemudian, didalam menilai
hadits-hadits yang bertalian dengan peristiwa mi’raj, Salim bersikap
sangat radikal, yaitu bahwa beliau tidak mempercayai semua hadits itu,
sekalipun peristiwa mi’raj itu sendiri diterimanya sebagai suatu
mukjizat. Disini Salim menundukkan akal merdekanya terhadap omnipotensinya
Tuhan. Artinya posisi iman diletakkan lebih tinggi dari pada rasio, dan beliau
juga tampaknya tidak mau mengembara secara spekulatif itu, Salim mengembalikan
urusan Mi’raj ini sebagai mukjizat. Titik.
Kupasan Salim tentang masalah takdir
juga baik kita singgung sedikit disini. Salim dengan keras menolak tuduhan
orang bahwa Islam mengajarkan fatalisme, yaitu menerima keadaan nasib
sebagaimana adanya.dikatakan bahwa fatalism inilah orang Islam menjadi fanatic,
nekad dan tidak takut mati. Pendeknya berani menyabung nyawa tanpa banyak berpikir
tentang bahaya dan malapetaka yang dihadapi. Menurut beliau, memaham takdir
yang pelik ini haruslah senantiasa dihubungkan dengan prinsip tauhid, yang
merupakan inti system kepercayaan Islam. Dari prinsip tauhidlah orang harus
membaca konsep takdir yang mewajibkan oran
tawakkal dan sabar. Dengan kata lain, konsep takdir yang terlepas dari
kendali tauhid dapat menyeret orang ke dalam paham fatalistik yang menempatkan
manusia pada posisi yang sama sekali tidak berdaya. Bertola dari prinsip tauhid
inilah Salim kemudian menyimpulkan, ‘’
Akan tetapi pengakuan Islam akan kekuasaan takdir Tuhan itu tidak mengandung
perasaan kecewa terhadap kepada Allah. Iman kepada Allah bukanlah hanya
pengakuan aka ada-Nya dan kuasa-Nya, melainkan mengandung pula
arti harap dan percaya kepada-Nya, yang bersifat pemurah
(pengasih) dan pengasih (penyayang).
Salim dengan sikap merdekanya ingin
menyelesaikan masalah ruwet diatas, dan sampai batas tertentu beliau telah
berhasil, sekalipun bila dikonsultasikan dengan al-Qur’an, kita barangkali akan
mendapatkan gambaran yang agak lain.tetapi dapatlah dikemukakan bahwa manusia
pada posisi antara impoten dan omnipoten, yaitu bahwa manusia itu berkuasa
mengubah nasibnya dan mengubah dunia, tetapi ia bukanlah maha kuasa bila berhadapan
dengan ketentuan Tuhan. Jadi dengan demikian, paham fatalistik yang juga
dipercayai oleh sementara orang Islam haruslah dinyatakan sebagai sesuatu yang
berasal dari luar Islam. ‘’Inilah paham yang diajarkan oleh Islam, yang jauh
sekali daripada ‘fatalisme’, yang dituduhkan orang,’’ tulis Salim.
Sikap merdeka
Salim yang masih tetap hangat sampai hari ini ialah pandangannya tentang
masalah tabir dan pemisahan antara laki-laki dan perempuan dalam rapat. Dalam
hal ini Salim benar-benar menjadi pelopor, mendahulu Muhammadiyah dan
organisasi-organisasi Islam lainnya. Pendirian merdeka Salim tentang masalah tabir ini terlihat pada saat kongres
jong islamietien bond ( JIB ) di Solo pada akhir 1927. Pada kongres pertama
tahun 1925 di Yogyakarta , JIB masih menggunakan tabir pemisah itu, baiklah
kita ikuti tulisan pak Roem (alm), salah seorang pemimpin JIB yang teramat
dekat dengan Salim.
Dalam kongres
1927 itu Salim menyampaikan pidato yang brjudul De sluiering en afzondering
der vrouw ‘’( Cadar dan harem’’,). Salim berucap,’’ salah satu kecondongan
ialah memisahkan laki-laki dan perempuan di rapat-rapat. Orang perempuan
disimpan dippojok dengan ditutup sebuah kain putih (tabir).’’ Kebiasaan macam
ini menurut Salim adalah kebiasaan bangsa Arab, tidak berasal dari perintah
Islam. Bahkan mungkin juga berasal dari kepercayaan golongan Yahudi dan Kristen
yang memandang posisi wanita lebih rendah ketimbang laki-laki. Islam sebaliknya
‘’ mempelopori emansipasi perempan’’ kemudian Salim pergi ke dalil yang lebih
mendaar lagi, katanya ‘’ apakah perintah al-Qur’an?’’ hal itu terdapat dalam
surat An-Nur ayat 30 untuk laki-laki dan ayat 31 untuk perempuan, yang
peraturannya sudah jelas-jelas mengenai keluarnya orang perempuan dihadapan
umum, dihadapan orang laki-laki dan perempuan, diluar batas-batas keluarga dan
mereka yang dekat, dalam lingkungan mana orang dapat bergaul dengan akrab.
Adanya perintah ini berarti tidak adanya keharusan orang perempuan dipisahkan,
apalagi menutup muka.’’ Uraian tentang tabir dan kudung diatas diuraikan Salim setelah tabir pemisah dalam kongres JIB tahun
1927 itu disuruh turunkannya.
Selain itu,
jika kita hendak mengetahui dan mendalami bagaimana beliau sebagai seorang
Ulama Islam, bolehlah kita baca karangan beliau tentang ‘’Isra dan Mi’raj Nabi
Muhammad’’, dapatlah kita mengambil kesimpulan bahwa mazhab yang beliau pakai
adalah mazhab paham salaf. Maka jika kit abaca karangan-karangan Ulama-ulama
yang besar-besar tentang Isra’ dan Mi’raj itu, terdapatlah pertikaian paham di
antara Ulama . ada yang mengatakan dan menguatkan bahwa Nabi Muhammad saw itu,
Isra’ dan Mi’raj dengan nyawa dan badannya, dan inilah golongan terbesar. Dan
ada pula yang berpendapat bahwa nyawanya saja, dalam keadaan sadar, bukan
mimpi, dan adapula yang berpendapat bahwa Isra’ itu dengan tubuh dan nyawa,
setelah Mi’raj hanyalah dengan nyawa saja. Maka Haji agus Salim setelah
menguraikan panjang lebar segala kisah Isra’ dan Mi’raj itu, dengan segala
riwayat dan dirayatnya, beliau mengambil kesimpulan bahwa Nabi Muhammad telah
Isra’ dan Mi’raj, dan beliau tidak memasuki salah satu pihak, dengan tubuh dan
nyawanya atau tubuh saja. Beliau percaya sungguh-sungguh dan penuh bahwa Nabi
Muhammad saw telah Mi’raj. Bagi Allah tidak ada yang tidak mungkin, karena
diamaha kuasa : Maa Qadarullaha Haqqa Qadrihi (Manusia tidaklah dapat
menaksir Allah menurut taksirannya yang tepat). Manusia adalah terlalu kecil
untuk membicarakan kekuasaan Allah yang tiada terbatas.
Mungkin kiranya itulah pemaparan
singkat yang bisa Pemakalah paparkan tentang biografi / pejalanan hidup & sebuah catatan pemikiran seorang Tokoh
pembaharu “ H.A. Salim’’