Senin, 02 November 2015

Paradigma dalam Metode Kualitatif


Paradigma dalam Metode Kualitatif
John W. Creswell dalam bukunya Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed lebih memilih menggunakan istilah Pandangan-dunia (worldviews) karena memiliki arti kepercayaan dasar yang memandu tindakan. Peneliti lain lebih suka menyebutnya Paradigma , Epistemologi dan ontologi atau metodologi penelitian yang telah diterima secara luas. (John W. Creswell, 2010: 7 ).
Kuhn ( 1962 dalam The  Structure of Scientific Revolutions mendefinisikan ‘ Paradigma Ilmiah sebagai contoh yang diterima tentang praktek ilmiah sebenarnya, contoh-contoh termasuk hukum, teori, aplikasi, dan instrumentalisasi secara bersama-sama yang menyediakan model yang darinya muncul tradisi yang koheren dari penelitian ilmiah.[1]
Capra (1996) mendefinisikan paradigma sebagai ‘konstelasi konsep, nilai-nilai persepsi dan praktek yang dialami bersama oleh masyarakat, yang membentuk visi khusus tentang realitas sebagai dasar tentang cara mengorganisasian dirinya.[2]
Empat pandangan dunia dalam metode Kualitatif
1.      Pandangan-Dunia Post-positivisme
     Asumsi-asumsi post-positivis merepresentaikan bentuk tradisional penelitian, yang kebenarannya lebih sering disematkan untuk penelitian kuantitatif ketimbang penelitian kualitatif.[3] Pandangan dunia ini terkadang disebut sebagai metode saintifik atau penelitian sains. Ada pula yang menyebutnya sebagai penelitian poritivis/post-positivis,sains empiris, dan post positivisme, istilah terakhir disebut post-positivisme. Kaum Post-Positivis mempertahankan filsafat deterministik bahwa sebab-sebab ( faktor-faktor kausatif ) sangat mungkin menentukan akibat atau hasil akhir.
    Pengetahuan yang berkembang melalui kacamata kaum post-positivis selalu didasarkan pada observasi dan pengujian yang sangat cermat terhadap realitas objektif yang muncul di dunia ‘’luar sana.’’ Untuk itulah, melakukan observasi dan meneliti perilaku individu-individu dengan berlandaskan pada ukuran angka-angka dianggap sebagai aktivitas yang amat penting bagi kaum post-positivis. Akibatnya, muncul hukum-hukum atau teori-teori yangmengatur dunia, yang menuntut adanya pengujian dan verifikasi atas kebenaran teori-teori tersebut agar dunia ini dapat dipahami oleh manusia. Untuk itulah, dalam metode saintifik, salah satu pendekatan penelitian yang telah disepakati oleh kaum post-positivis, seorang peneliti harus mengawali penelitiannya dengan menguji teori tertentu, lalu mengumpulkan data baik yang mendukung maupun yang membantah teori tersebut, baru kemudian membuat perbaikan-perbaikan lanjutan sebelum dilakukan pengujian ulang.[4]
  Phillips dan Burbules ( 2000 ). Sejumlah asumsi dasar yang menjadi inti dalam paradigma penelitian post-positivis, antara lain[5]:
1.      Pengetahuan bersifat konjektural/terkaan ( dan anti fondasional/tidak berlandasan apapun ). Bahwa kita tidak akan pernah mendapatkan kebenaran absolut. Untuk itulah, bukti yang dibangun dalam penelitian sering kali lemah dan tidak sempurna. Karena alasan ini pula, banyak peneliti yang berujar bahwa mereka tidak dapat membuktikan hipotesisnya; bahkan, tak jarang  mereka juga gagal untuk menyangkal hipotesisnya.[6]
2.      Penelitian merupakan proses membuat klaim-klaim, kemudian menyaring sebagian klaim tersebut menjadi ‘’klain-klaim lain’’ yang kebenarannya jauh lebih kuat. Sebagian besar penelitian kuantitatif, misalnya, selalu diawali dengan pengajuan atas suatu teori.[7]
3.      Pengetahuan dibentuk oleh data, bukti, dan pertimbangan-pertimbangan logis. Dalam praktiknya, peneliti mengumpulkan informasi dengan menggunakan instumen-instrumen pengukuran tertentu yang diisi oleh partisipan atau dengan melakukan observasi mendalam di lokasi penelitian.[8]
4.      Penelitian harus mampu mengembangkan statemen-statemen yang dapat menjelaskan situasi yang sebenernya atau dapat mendeskripsikan relasi kausalitas dari suatu persoalan. Dalam penelitian kuantitatif, peneliti membuat relasi antarvariabel dan mengemukakannya dalam bentuk pertanyaan dan hipotesis.
5.      Aspek terpenting dalam penelitian adalah sikap objektif; para peneliti harus kembali menguji metode-metode dan kesimpulan-kesimpulan yang sekiranya mengandung bias. Untuk itulah dalam penelitian kuantitatif, standar validitas dan reliabilitas menjadi dua aspek penting yang wajib dipertimbangkan oleh peneliti.[9]

2.      Pandangan Dunia Konstruktivisme Sosial
  Konstruktivisme sosial meneguhkan bahwa individu-individu selalu berusaha memahami dunia di mana mereka hidup dan bekerja.
Terkait dengan konstruktivisme ini, Crotty ( 1998 ) memperkenalkan sejumlah asumsi :
1.      Makna-makna di konstruksi oleh manusia agar mereka bisa terlibat dengan dunia yang tengah mereka tafsirkan . para peneliti kualitatif cenderung menggunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka agar partisipan dapat mengungkapkan pandangan-pandangannya.[10]
2.      Manusia senantiasa terlibat dengan dunia mereka dan berusaha memahaminya berdasar perspektif historis dan sosial mereka sendiri.[11]
3.      Yang menciptakan makna pada dasarnya adalah lingkungan sosial, yang muncul di dalam dan di luar interaksi dengan komunitas manusia.[12]

3.      Pandangan Dunia Advokasi dan Partisipatoris
  Pandangan Dunia Advokasi dan Partisipatoris berasumsi bahwa penelitian harus dihubungkan dengan politik dan agenda politis. Untuk itulah, penelitian ini pada umumnya memiliki agenda aksi demi reformasi yang diharapkan dapat mengubah kehidupan para partisipan, institusi-institusi di mana mereka hidup dan bekerja, dan kehidupan peneliti sendiri.[13]
  Dalam penelitian ini, para peneliti harus bertindak secara kolaboratif agar nantinya tidak ada partisipan yang terpinggirkan dalam hasil penelitian mereka. Bahkan, para partisipan dapat membantu merancang pertanyaan-pertanyaan, mengumpulkan data, menganalisis informasi, atau mencari hibah-hibah penelitian.[14] Penelitian advokasi menyediakan sarana bagi partisipan untuk menyuarakan pendapat dan hak-hak mereka yang selama ini tergadaikan.[15]

4.      Pandangan Dunia Pragmatik
  Pragmatisme sebagai pandangan dunia lahir dari tindakan-tindakan, situasi-situasi, dan konsekuensi-konsekuensi yang sudah ada, dan bukan dari kondisi-kondisi sebelumnya ( seperti dalam kondisi post-positivisme ). Sebagai salah satu paradigma filosofis untuk penelitian metode campuran, Tashakkori dan Teddlie (1998), Morgan (2007), dan Patton (1990) menekankan pentingnya paradigma pragmatik ini bagi para metode campuran, yang pada umumnya harus berfokus pada masalah-masalah penelitian dalam lmu sosial humaniora, kemudian menggunakan pendekatan beragam untuk memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam tentang problem-problem tersebut.[16]








DAFTAR PUSTAKA
Creswell, John W, Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed
       ( Pustaka Pelajar : Yogyakarta ) 2007, Cet. I.
Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, ( PT Remaja Rosdakarya : Bandung )
       2009, Cet. 26.



[1] Lexy J. Moeleong, metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2009, h. 48.
[2] Lexy J. Moeleong, h. 48.
[3] John W. Creswell, Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, h.8.
[4] John W. Creswell, h.10.
[5] John W. Creswell, h.10.
[6] John W.Creswell, h.10.
[7] John W.Creswell, h.10
[8]John W. Creswell, h.10
[9] John W. Creswell, h.10
[10] John W. Creswell, h.10

[11] John W. Creswell, h.12.
[12] John W. Creswell, h.12
[13] John W. Creswell, h.14
[14] John W. Creswell, h.14
[15] John W. Creswell, h.14
[16] John W. Creswell, h.16

Mata Kuliah Pengantar Psikologi tentang Ingatan dan Kesadaran

INGATAN DAN KESADARAN


A.   INGATAN ( MEMORY )
        Segala macam belajar melibtkan ingatan, para ahli psikologi mengethui pentingnya membuat dua perbedaan dasar mengenai ingatan. Yang pertama, mengenai tiga tahapan ingatan, memasukkan pesan dalam ingatan (encoding), penyimpanan (storage), dan mengingat kembali (retrieval). Yang kedua, mengenai duajenis ingatan- ingatan jangka pendek dan ingatan jangka panjang.[1]
B.   TIGA TAHAPAN INGATAN
        Misalkan pada suatu pagi Anda dikenalkan pada seorang siswi dan Anda diberitahu namanya Ernawati. Sore harinya anda bertemu kembali dan mengatakan ‘’Anda Ernawati, bukan! Kita bertemu tadi pagi.’’ Jelaslah bahwa anda ingat namanya tetapi apa sebenarnya yang anda lakukan?
        Kekuatan ingatan anda dapat dibagi kedalam tiga tahapan. Pertama ketika anda dperkenalkan, dengan suatu cara anda memasukkan nama Ernawati kedalam ingatan. Ini adalah tahapan ‘encoding’. Anda mengubah fenomena fisik (gelombang-gelombang suara) yang sesuai dengan nama yang diucapkan kedalam kode yang diterima ingatan dan anda menempatkan kode tersebut dalam ingatan. Kedua, anda mempertahankan atau menyimpan nama itu selama waktu antara kedua pertemuan tadi. Inilah yang dinamakan tahapan penyimpanan (storage stage). Dan ketiga, anda dapat mendapatkan kembali nama itu dari penyimpanan pada waktu pertemuan kedua, ini adalah tahapan mengingat kembali (retrieval stage).
C.   DUA JENIS INGATAN
A.   Ingatan jangka pendek
        Kendatipun dalam keadaan di mana kita harus mengingat informasi untuk beberapa detik saja dan informasinya mungkin masih dalam keadaan aktif, ingatan tetap mencakup tiga tahapan.
a.       Pemasukan pesan dalam ingatan (Encoding)
b.      Untuk dapat menyimpan informasi ke dalam ingatan jangka pendek, kita harus memperhatikan informasi tersebut. Karena kita sangat selektif tentang apa yang akan kita perhatikan, ingatan jangka pendek kita hanya berisi apa yang dipilih. Hal ini berarti bahwa sebagian besar dari apa yang telah terlihat oleh kita tidak pernah memasuki ingatan jangka pendek, dan tentu saja tidak akan mungkin dapat digunakan untuk pengingatan kembali di kemudian hari. Memang, setiap kesultan yang diberi cap ‘’kesulitan ingatan’’ sebetulnya merupakan tidak adanya perhatian. Misalnya, jika anda berbelanja dan kemudian seseorang menanyakan warna mata pelayannya, anda mungkin tidak dapat menjawabnya karena anda memang tidak memperhatikannya.
Jika informasi diperhatikan, maka informasi tersebut disimpan dalam ingatan janga pendek, seperti telah disebutkan sebelumnya, pemasukan pesan (Encoding) tidak berarti bahwa informasi dimasukkan dalam ingatan  dalam ingatan saja, tetapi juga bahwa inforasi tersebut dimasukkan dalam ingatan dalam bentuk tertentu atau kode. Misalnya, jika anda mencari nomer telepon dan mengingatnya, sampai anda memutar nomor itu, dalam kode apa anda simpan angka-angka itu? Apakah kode itu visual-suatu bayangan mental dari angka-angka itu? Ataukah kode itu akustik-bunyi dari nama angka-angka itu?, penelitian menunjukkan bahwa kita dapat menggunakan kemungkinan yang mana saja untuk memasukkan informasi kedalam ingatan janga pendek. Tetapi tampaknya kita lebih menyukai kode akustik ketika mencoba mempertahankan informasi itu tetap aktif dengan cara melatihnya-yaitu dengan cara mengulang berkali-kali informasi itu dalam benak kita. Berlatih merupakan strategi yang popular, terutama bila informasi terdiri dari butir verbal seperti angka, huruf, atau kata. Oleh karena itu dalam mencoba mengingat sebuah nomer telepon, kita cenderung memasukkan nomer itu dalam ingatan sebagai bunyi dari nama-nama angka dan megulang bunyi itu sendiri sampai kita selesai memutar nomor tersebut.
c.       Penyimpanan (storage)
Mungkin kenyataan yang paling mencolok mengenai ingatan jangka pendek ialah bahwa ingatan ini mempunyai kapasitas yang terbatas. Batas rata-ratanya adalah 7 butir lebih atau kurang dua, sebagian orang dapat menyimpang paling sedikit 5 butir, yang lainnya dapat menimpan Sembilan. Kelihatannya tidak wajar member jumlah yang begitu pasti bagi semua orang, padahal sudah jelas bahwa kemampuan ingatan setiap individu sangat berbeda.
Meskipun kebanyakan dari kita kadang-kadang dapat mempertahankan sebuah ingatan visual mengenai sesuatu yang baru kita lihat, ingatan semacam itu biasanya tampak mengabur dan tanpa hal-hal yang rinci. Namun, sebagian orang ada yang sanggup menahan gambaran visual dalam ingatan jangka pendek mereka yang hampir sejelas foto.
Orang-orang seperti itu disebut memilliki ‘’ingatan fotografik atau, menurut istilah psikologi mempunyai bayangan eiditik.
Pada kesempatan lain  jika kita mendapatkan sebuah daftar nama (misalnya, buku panduan suatu perusahaan atau universitas), kit abaca seluruh buku satu kali kemudian kita perhatikan berapa nama yang dapat kita ingat dengan tersusun. Kemungkinannya antara lima dan Sembilan.
Dengan adanya kapasitas yang begitu pasti kita cenderung memandang ingatan jangka pendek sebagai sebuah kotak mental yang mempunyai tujuh slot (bilik). Setiap butir yang memasuki ingatan jangka pendek masuk kedalam masing-masing slot. Selama jumlah butir tidak melebihi jumlah slot kita akan dapat mengingat butir-butir dengan sempurna. Meskipun pandangan mengenai ‘kotak’ ini dapat diartikan secara harfiah, hal ini tetap menunjukkan sebab terlupakannya hal-hal dalam ingatan jangka pendek : ketika semua ‘slot’ sudah terisi dan sebuah butir baru akan masuk, salah   satu butir lama harus pergi. Butir yang baru menggantikan butir yang lama.
d.      Pengingatan kembali
Marilah kita pikirkan isi ingatan jangka pendek yang telah tersedia untuk kesadaran. Intuisi menunjukkan bahwa informasi itu diperoleh dengan segera. Kita tidak usah ‘menggalinya’, informasi sudah ada. Jadi pengingatan kembali tergantung dari jumla butir-butir dalam kesadaran. Tetapi dalam hal ini intuisi keliru.
Sekarang kita mempunyai bukti bahwa untuk mengingat kembali diperlukan pencarian penggalian ingatan jangka pendek, dimana butir-butir itu diuji satu persatu. Penggalian beruntun terjadi dengan sangat cepat, demikian cepatnya hingga kita tidak menyadarinya. Sebagian besar bukti penggalian seperti itu berasal dari sejenis eksperimen yang diperkenalkan oleh Sternberg (1966). Pada setiap percobaan dari eksperimen itu, kepada seorang subjek diperlihatkan seperangkat angka, yang disebut daftar ingatan (memory list). Yang dipertahankannya untuk sementara dalam ingatan jangka pendek; subje itu dapat dengan mudah mempertahankan informasi terebut dalam ingatan jangka pendeknya, karena setiap daftar ingatan berisi kurang dari tujuh angka. Kemudian daftar ingatan itu dihilangkan dari pandangan subjk, dan sebuah angka  probe diberikan beberapa detik kemudian. Subjek harus menentukan apakah angka probe ada didalam daftar ingatan. Misalnya, bila daftar ingatan itu 3,6,1, dan angka probenya 6, maka subjek harus menjawab ‘’ya’’ jika diberi daftar yang sama dengan angka probe 2, subjek harus menjawab ‘’tidak’’. Karena daftar ingatan itu sudah tidak dapat terlihat oleh subjek pada waktu angka probe itu diberikan, maka angka probe  itu harus dibandingkan dengan representasi daftar yang sudah tersimpan dalam ingatan jangka pendek. Subjek jarang membuat kesalahan dalam tugas semacam ini, yang menarik adalah kecepatan subjek untuk menentukan keputusannya.
B.   Ingatan jangka panjang
Ingatan jangka panjang meliputi informasi yang telah disimpan dalam ingatan dengan rentang waktu beberapa menit atau sepanjang hidupa (kenang-kenangan seorang dewasa tentang masa kanak-kanaknya).
a.       Pemasukan pesan dalam ingatan / penyusunan kode (encoding)
Untuk materi verbal, kode ingatan jangka panjang yang dominan tidak bersifat akustik atau visual, melainkan tampaknya didasarkan pada pengertian akan butir-butir tersebut. Kita dapat juga memakai kode akustik dalam ingatan jangka panjang. Ketika kita menerima telepon dan orang disebelah sana mengucapkan ‘’Hallo’’, sering kali kita mengenal suaranya, untuk melakukan hal ini, kita telah menyimpan suara orang itu dalam ingatan jangka panjang.
Pengkodean melalui pengertian, tampaknya menghasilkan ingatan yang terbaik. Dan semakin mendalam atau lengkap seorang menyerap pengertian, semakin baik ingatan yang terjadi. Maka, kalau kita harus mengingat satu hal dalam sebuah buku teks kita akan mengingatnya lebih baik, jika kita memusatkan pikiran pada pengertiannya dan bukan pada kata-kata yang tercantum. Dan semakin mendalam dan menyeluruh kita menghayati maknanya semakin baik kita mengingatnya.
Teknik eksperimen yang mementingkan pengertian uraian kata akan meningkatkan ingatan (Frase, 1975 ; Anderson, 1980).
b.      Penyimpanan dan pengingatan kembali (Storage and Retrieval)
Bila kita membahas ingatan jangka panjang, kita harus memperhatikan sekaligus mengenai penyimpanan (storage) dan pengingatan kembali (Retrieval). Banyak kasus mengenai proses lupa dari ingatan jangka panjang ini tampaknya merupakan akibat dari tidak adanya cara untuk mencapai informasi itu dan bukanlah karena tidak adanya informasi itu sendiri. maka, ingatan yang lemah dapat mencerinkan kegagalan pengingatan kembali dan bukan merupakan kegagalan penyimpanan informasi.
Pengalaman kita sehari-hari memberikan cukup bukti mengenai hal ini. Setiap orang pernah tidak dapat mengingat suatu fakta, yang kemudian baru di ingatnya kembali. Semakin baik bantuan isyarat penguatan kembali, semakin baik pula ingatan kita.
C.   Keadaan Kesadaran
Setiap orang mengalami kesadaran yang berubah-ubah sepanjang waktu.Bagi kebanyakan psikolog , perubahan keadaan kesadaran akan terjadi bila terjadi perubahan pada suatu pola fungsi mental yang biasa menjadi kesuatu keadaan yang kelihatannya berbeda bagi orang yang mengalami perubahan tersebut. (Tart, 1975) Walaupun bukan merupakan suatu batasan yang tepat,tetapi hal ini menunjukan bahwa keadaan kesadaran seseorang sangatlah pribadi dan karenanya berifat objektif. Keadaan kesadaran yang berubah ubah dapat mempunyai bentuk yang bermaam-macam, mulai dari selingan melawan sampai pada keadaan bingung dan penyimpngan persepsi yang disebabkan lh mabuk karena obat bius atau alkohol.
D.   Kesadaran
Kesadaran sering digunakan sebagai istilah yang mencakup pengertian persepsi, pemikiran, perasaan, dan ingatan yang aktif pada saat bertamu. Dengan pengertian ini kesadaran sama artinya dengan mawas diri (awareness). Namun, seperti apa yang kita lihat, kesadaran juga mencakup persepsi dan pemikiran yang secara samar-samar didasar ioleh individu sehingg akhirnya perhatian terpusat.Oleh sabab itu ada tingkatan mawas diri (awareness) dalam kesadaran.
Selama 20 tahun terakhir, orientasi kognitif para psikolog yang makin meningkat bersamaan dengan perkembangan lainnya, telah membangkitkan kembali perhatian orang pada kesadaran.
 Beberapa Kesadaran Aktif dan Pasif
Terdapat dua pebedaan dasar antara dua macam kesadaran yang merujukkan sifat jaga biasa: Kesadaran pasif, dimana seseorang bersikap menerima apa yang terjadi pada saat itu dan kesadaran aktif, yang menitikberatkan pada inisiatif dan mencari, atau merencanakan berbagai kemungkinan dimasa depan (Deikman,1971). Menerima informasi dari lingkungan merupakan fungsi utama system sensorik tubuh. Pengalaman sensorik tercampur secara konfleks dengan ingatan, fantasi/khayal, dan impian_ kesemuanya data diwujudkan dalam kesadaran pasif. Disamping memberikan pengetahuan, stimulasi sensorik merupakan dasar kepuasan estetik. Budaya tandingan (counter culture) tahun 1960an menekankan adanya cara-cara kesadaran pasif, yang member nilai tinggi pada kepekaan untuk saat ini dan ketidakacuhan akan urusan masa lalu dan akan datang. Kebanyakan ide ini didasari oleh praktek keagamaan di Timur, seperti yoga, dimana kepribadiaan seseorang dilepas dengan jalan menyatukan diri dengan objek meditasi sehingga tercapai ketenangan atau kebahagiaan diri.
Daya penerimaan atau kepekaan hanya merupakan bagian kesadaran. Perencanaan yang aktif merupakan bagian utama dalam kehidupan mental, tidak peduli apakah rencana tersebut sederhana atau siap dilaksanakan (“saya akan memasukkan surat kedalam bis di pojok jalan itu”) atau untuk jangka panjang (“Saya akan menjadi seorang ahli hukum”). Perbedaan antara kesadaran Aktif dan Pasif tidaklah terlalu tajam. Pikiran bergerak melalui kedua jalur kesadaran ini dan didalam kedua jalur ini pula alur berfikir sangat dekat dengan kesadaran.

Proses Pada Tepi Kesadaran
 Dalam berlomba untuk mendapatkan perhatian,beberapa benda atau peristiwa mempunyai kelebihan tertentu atas yang lainnya karena sifata yang ada padanya seperti intensitas, kejutan (surprise) atau perubahan. Stimulus lain lebih menguntugkan karena mencrminkan minat atau kesenagan orang yang menghayati .Apapun sebabnya, stimulus ini dapt menangkap pusat perhatian orang yang menghayati seperti sinar senter yang menembus kegelapan akan menyebabkan stimulus menjadi pusat kesadaran. Tetapi kebanyakan terjadi pada tepi kesadaran.
Banyak stimulus yang tidak secara sadar dihayati dapat diketahui.Contoh: Kita mungkin saja tidak menyadari bunyi dentang sebuah jam. Setelah berdentang beberapa kali, baru kita sadari, kemudian kita kembali dan menghitung dentang yang tidak kita dengar sebelumnya.[2]

Freud Dan Kesadaran Tidak Sadar
Menurut Teori Psikoanitik Freud dan pengikutnya, terdapat pula ingatan lain yang tidak dapat atau sangat sulit diingat kembali. Teori ini menamakan ingatan semacam ini tidak sadar”. Untuk alas an emosional atau motifasi, freud mengatakan bahwa ingatan sadar dan keinginan dapat di tekan (repressed) yaitu dialihkan pada tidak sadar, yang sebetulnya ingatan tersebut masih aktif walaupun tidak dapat diingat lagi. Dalam beberapa hal, repressi dapat mengalihkan pemikiran yang tidk dapat diterima (unacceptable thoughts) menjadi tidak sadar sebelum pemikiran tersebut hadir dalam keadaan sadar.




[1] Rita l. Atkinson, Richard c. Atkinson, Ernest r. Hilgard, Agus Dharma, Michael Adryanto. Pengantar psikologi. Hal.341
[2] Op.cit,. hal. 250

Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu Dakwah

Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu Dakwah
1.     Ontologi Ilmu Dakwah
Kata ontology berasal dari bahasa yunani, yaitu : on/ontos yang berarti ‘’ada’’, dan logos yang artinya ‘’ilmu’’. Jadi, ontology ialah ilmu tentang yang ada. Ontologi adalah cabang metafisika mengenai realitas yang berusaha mengungkap cirri-ciri segala yang ada, baik cirri-cirinya universal, maupun yang khas. Menurut jujun S. Suriasumantri, ontology embahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang ‘’ada’’.
Landasan ontologis suatu pengetahuan mengacu kepada apa yang digarap dalam penela’ahannya, yakni apa yang hendak diketahui melalui kegiatan penela’ahan itu. Aspek ontologi dalam ilmu dakwah berkaitan dengan apa yang menjadi objek kajian pada ilmu tersebut. Obyek kajian ilmu dakwah terbagi dua bagian, yaitu: obyek material dan obyek formal.
Amrullah Achmad berpendapat, obyek material ilmu dakwah adalah semua aspek ajaran Islam (Al-Qur’an dan Al-Sunnah), hasil ijtihad serta realisasinya dalam sistem pengetahuan, teknologi, sosial, hukum, ekonomi, pendidikan dan lainnya, khususnya kelembagaan Islam. Sedangkan obyek formalnya yaitu kegiatan mengajak umat manusia supaya kembali kepada fitrahnya sebagai muslim dalam seluruh aspek kehidupannya.
Berdasarkan obyek yang ditelaahnya, maka ilmu dakwah dapat disebut sebagai suatu ilmu pengetahuan yang sifatnya empiric maupun pemikiran. Obyek kajian ini berkaitan dengan aspek kehidupan manusia, sosial, kehidupan agama, pemikiran, budaya, estetika dan filsafat yang bisa diuji serta diverifikasi. Ilmu dakwah mempelajari dan memberikan misi yang berkaitan dengan ajaran Islam bagi kehidupan manusia.[1]
2.     Epistemologi Ilmu Dakwah
Istilah Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme yang diartikan sebagai pengetahuan atau kebenaran, dan logos yang berarti pikiran; kata atau teori. Dengan demikian, secara etimologis, Epistemologi dapat diartikan sebgai ‘’ teori pengetahuan’’. Epistemologi ialah cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat ilmu. Yakni menyelidiki keaslian pengetahuan, struktur, metode dan validitas pengetahuan.
Hal pertama yang harus dijawab adalah kondisi apa yang mesti dibangun dan seharusnya ada dalam perangkat dakwah?, mengapa kondisi tersebut mesti dibangun?. Jawabannya, bahwa faktor moralitas sebagai dimensi moral keagamaan merupakan salah satu syarat yang mempunyai peranan penting dalam aplikasi dakwah di masyaraat. Artinya, perilaku dakwah harus mencerminkan akhlak yang memiliki kandungan syarat dari perbuatan baik. Syarat tersebut adalah, suatu pebuatan bisa dikatakan baik apabila meliputi: niat baik, cara yang baik, temasuk didalamnya hukum positif dan hokum agama, serta tujuan yang baik pula. Itu semua mesti lahir dari nuansa batin yang paling dalam, yakni mulai dari diri sendiri. Dalam berdawah konsep ‘’ibda’ binafsik (mulai dari diri sendiri) jauh lebih bermakna untuk mengubah tatanan masyarakat yang ada, dari pada sekedar menyuruh kepada kebaikan.
Dalam tradisi keilmuan keislaman, setidaknya ada tiga bentuk epistemology yang berkembang, yakni : epistemologi bayani, epistemologi ‘irfani dan epistemologi burhani. Secara etimologis, bayani berarti: penjelasan, pernyataan, ketetapan. Sedangkan secara terminologis, bayani mengandung arti pola pikir yang bersumber pada nash, ijma’ dan ijtihad.
‘irfani pola pikirnya berpangkal pada dzauq, qalb atau intuisi. Pada dataran ini, dalam hubungannya dengan dakwah tidak begitu banyak berpengaruh terhadap sumber pengetahuannya, mengingat dakwah pada dasarnya lebih kepada persoalan perubahan sosial dan transformasi nilai Islam yang kongkret dan rasional.
Epistemologi burhani bersumber pada aktifitas intelektual untuk menetapkan kebenaran proposisi dengan metode dedukatif, yakni dengan cara mengaitkan proposisi satu dengan proposisi lainnya yang bersifat aksiomatik. Metode ini pertama kali dikembangkan di Yunani melalui proses panjang dan puncaknya pada Aristoteles. Metode ini, biasa disebut Aristoteles dengan sebutan analisis, yaitu menguraikan ilmu atas dasar prinsip-prinsipnya. Epistemologi burhani inilah yang lebih kental dengan sumber dakwah Islam setelah epistemology bayani.
Mendapatkan pengetahuan dalam ilmu dakwah berasal dari teks atau nash (al-Qur’an dan al-sunnah) sebagai otoritas suci. Pada dataran ini, secara keilmuwan lazim disebut dakwah normatif, yang memiliki karakteristik lebih tetap, mutlak dan tidak berubah-ubah. Adapun secara burhani, bersumber dari realtas, termasuk didalamnya ilmu sosia, alam dan kemanusiaan. Pada dataran ini, secara keilmuwan lazim disebut sebagai dakwah historis, yang memiliki karakteristik lebih terbuka, mengalami perubahan, dinamis dan berubah-ubah berdasarkan paradigm dakwah itu sendiri.
3.     Aksiologi Ilmu Dakwah
Aksiologis berarti teori tentang nilai, dalam kaitannya dengan Ilmu Dakwah yang secara etimologis berarti panggilan/ajakan untuk memahami kebenaran (teologis) Islam, maka nilai kebenaran mendasar merupakan landasan aksiologis bagi pengembangan dakwah. Kedudukan dakwah sebagai ilmu, dapat ditemukan pada argument yang dapat menjawab sejauh mana dakwah memiliki kriteria sebagai ilmu. kriteria tersebut mencakup : pertama, sejauh mana dakwah memiliki argumen atas struktur yang jelas dari ilu yang menyampaikan dan mengjak orang untuk mengakui kebenaran teologis tertentu. Kejelasan struktur manjadi sangat penting, karena kebenaran yang hendak disampaikan oleh Ilmu dakwah pada dasarnya merupakan kebenaran transendental yang sering ‘tidak terjangkau’ oleh sudut pandang ilmiah yang secara mayoritas dianut oleh ilmuwan itu sendiri. Kedua, menyangkut kejelasan Ilmu dakwah yang dapat dipertanggungjawabkan secara sisitematik. Ketiga, menyangkut pertanggungjawaban metodologis dakwah sebagai Ilmu. setiap ilmu pengetahuan disamping harus dapat menjelaskan apa yang menjadi obyek kajiannya atau obyek materialnya,juga harus dapat mempertanggungjawabkan sudut pandang atau obyek formal yang dipakai memahami obyek kajiannya. Keempat, sejauh mana dakwah sebagai ilmu dapat mempertanggungjawabkan produk-produknya berangkat dari proses logika yang jelas keterkaitan antara premis dan kesimpulannya.
Berdasarkan uraian tersebut dapat ditegaskan, bahwa yang menjadi landasan aksiologi ilmu dakwah adalah nilai-nilai kebenaran teologisyang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah yang harus diimplementasikan dalam realitas kehidupan sosial, sehingga nilai-nilai tersebut menjelma sebagi ‘’rahmatan li al-alamin’’



[1] Rubiyanah, Ade Masturi, Pengantar Ilmu Dakwah, Lemlit UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta,2010, h.9

H. Agus Salim Sang Pembaharu



A.    KELAHIRAN DAN MASA KANAK-KANAK
Agus salim adalah seseorang tokoh pergerakan nasional, seorang pejuang Islam yang aktif sejak RI masih dijajah Belanda dan besar sekali jasanya dalam ikut merintis kemerdekaan bangsa.
Menurut hikayatnya, pada awal Oktober 1884, Angku Sutan Mohammad Salim sedang sangat terkesan oleh tokoh utama dari buku yang sedang dibacanya. Namanya Masyudul Haq. Maka ketika pada suatu hari ia sedang berada di surau dekat rumahnya di kota Gedang dan pesan disampaikan kepadanya bahwa istrinya Siti Zainab baru saja melahirkan bayi laki-laki sehat, segar, langsung timbul niatnya untuk member nama Mayudul Haq kepada anaknya.
Nama adalah do’a, demikian kata nabi Muhammad Rasulullah. Maka, apabila kemudian orang tua sepakat untuk memberi nama ‘’Masyudul Haq” kepada bayi yang baru lahir, tak lebih ini hanya berisi harapan semoga naknya kelak menjadi tokoh pembela kebenaran, sesuai arti dari perkataan tersebut.
Tak disangka, nama yang bermakna luhur itu dikemudian hari tenggelam ditelan oleh gelombang kebiasaan dan bayi Masyudul haq yang tumbuh dewasa serta benar menjadi tokoh pembela umatnya itu, dikenal secara luas baik ditingkat nasional maupun international hanya dengan nama “ Agus Salim “, lain tidak. Timbul pertanyaan pada sementara orang, bagaimana hal demikian bisa terjadi?, ternyata apa yang dapat ditelusuri melalui saluran keluarga, hanyalah soal sepele, namun tampaknya pengaruhnya besar. Ketika Masyudul Hak masih kecil, ia di asuh oleh seorang pembantu asal Jawa, sebagaimana diketahui seorang pembantu dari Jawa mempunyai kebiasaan untuk memanggil momongannya, anak majikannya dengan sebutan “ den bagus’ atau secara pendek “ Gus”. Panggilan kesayangan yang mengandung unsur menghormati ini tanpa terasa diikuti oleh kalngan yang lebih luas, yaitu dilingkungan sekolah dan guru-guru Belanda. Sehingga terciptalah nama Agus yang menurut lidah orang Belanda diucapkan sebagai “ August”.[1]
B.     SEKOLAH ELS DI RIAU
Pada waktu usia Agus kecil mencapai kira-kira enam tahun, ayahnya Sutan Mohamad salim diangkat oleh pemerintah  Hindia-Belanda menjadi hoofdjaksa pada Landraad di Riau en Orderhorigheden atau jaksa tinggi pada Pengadilan Negri Riau dan daerah bawahannya, berkedudukan di Riau.  kedudukan hoofdjaksa untuk orang Indonesia ketika itu – orang belanda menyebut dengan istilah Inlanders- termasuk tinggi dan sangat terhormat. Inilah sebabnya maka Agus dan Kakaknya dapat diterima di Europeese Lagere School  (E L S) pada saat itu, yang menurut kebiasaan hanya menerima anak-anak keturunan Eropa saja.
Pandai disekolah, Agus juga popular diantara teman-temannya. Baik dikalangan bangsa sendiri maupun anak-anak bangsa Eropa.
C.     SISWA HBS YANG BRILYAN
Setelah lulus Europeese Lagere School  (E L S).  Agus Salim meninggalkan Riau ia dikirim ke Batavia untuk dimasukan dalam sekolah menengah Hogere Burger School (HBS), lagi-lagi suatu sekolah dimana tidak banyak ditemui orang Indonesia disana. Murid Indonesia yang ketika itu ada ialah yang kemudian dikenal dengan sebagai Prof. Husein Djajadinigrat. Selama jangka waktu lima tahun ini kembali Agus Sallim berhasil mengesankan sekelilingknya, terutama para guru.karena ia memang pandai dan menonjol dalam semua pelajaran, baik yang bidang bahasa, ilmu sosial, ataupun ilmu pasti. Maka akhirnya ia lulus sebagai juara pertama untuk bukan saja HBS dimana ia bersekolah tetapi juga untuk semua HBS di Hindia-Belanda. Ketika itu di kawasan Hindia-Belanda ada tiga buah HBS yaitu di Batavia atau Jakarta, Bandung dan Surabaya.
Berita tentang prestsi demikian gemilang dari seorang remaja pribumi dialam kolonial Belanda dewasa itu. hingga pada akhirnya berita itu sampai ketelinga seorang remaja putri dari keluarga bangsawan di Jawa Tengah. Namanya Raden Ajeng Kartini. Remaja putri ini yang kemudian kita semua mengenal sebagai pendekarnya kaum wanita Indonesia, ketika itu Raden Ajeng Kartini sedang dilanda kemasygulan karena ia sangat menginginkan untk melanjutkan studi nya ke Belanda, hingga akhirya ia mengajukan permohonan beasiswa kepada pemerintah Hindia-Belanda, dan berkat usaha yang gencar akhirnya Raden Ajeng Kartini menerima besluit atau surat keputusan berisi penegasan bahwa permohonannya dikabulkan.
Namun nasib ternyata mnghendaki lain. Di tahun 1903 itu Kartini masih tetap harus menghadapi tembok tradisi , orang tuanya tetap tidak mengizinkan anak gadisnya untuk pergi jauh sehingga dengan berat hati Kartini sendiri terpaksa harus memutuskan untuk tidak pergi ke Belanda.[2]
Kemudian ia mengirimkan surat kepada Ny. Abendanon Istri pejabat tinggi Belanda bidang pendidikan, yang mana didalam surat tersebut Kartini menyebutkan bahwa ia mendengar tentang seorang pemuda asal Sumatra bernama Agus Salim yang sangat pandai dan lulus HBS sebagai juara pertama.  Pemuda ini ingin melanjutkan studi di Belanda di bidang kedokteran. Melalui istri pejabat tinggi Belanda inilah Kartini selanjutnya menyampaikan imbauan  dan permohonan agar biaya bagi dirinya itu dilimpahkan saja kepada pemuda Salim agar dapat mencapai cita-citanya yang tinggi. Bila masih ada kekurangan dalam hal biaya, Kartini berniat akan ikut mengusahakan dari sumber lain.
Agus Salim memang tak pernah mendapatkan beasiswa dari pemerintah Hindia-Belanda. Tentang hal ini ada beberapa anggapan yang dikemukakan oleh sumber yang berlainan. Ada anggapan misalnya yang  mengatakan bahwa Agus Salim telah menolak tawaran Kartini sambil mengatakan “ kalau pemerintah Belanda mengirim saya hanya karena anjuran Kartini dan bukan karena kemauan pemerintah, lebih baik tidak…’’ kalangan pengamat lain sementara itu berpendapat bahwa anggpan tersebut ini tidak masuk akal, karena Agus Salim tidak tahu akan adanya imbauan kartini.   



D.    BEKERJA DI JEDDAH
Seperti telah diceritakan sebelum ini, setelah lulus secara gemilang dari HBS, Agus Salim menaruh minat untuk meneruskan studi jurusan kedokteran di Negri Belanda. Tetapi ia juga sadar, bahwa biaya studi amat mahal dan tak akan terpiul oleh orang tuanya. Maka didukung oleh semua guru HBS karena merasa saying jika naka secerdas ini tidak melanjutkan studinya kejenjang yang lebih tinggi lagi. Ia lalu mengajukan permohonan beasiswa kepada pemerintah Hindia-Belanda. Jawaban atas permohonan itu jelas, yaitu bahwa tidak ada beasiswa untuk Inlander.
Sementara itu ayahanda Agus Sutan Mohamad Salim mendapat nasihat dai sekretaris Gubernur jendral agar mengajuan permohonan bagi anaknya untuk mendapatkan persamaan status dengan orang kelahiran Eropa.
Atas permohonan Sutan Mohamad Salim yang diajukan pada tahun 1904, baru setahun kemudian datang jawaban yang isinya : meluluskan permohonan bagi Jacob salim (kakak Agus) dan Agus Salim untuk mendapatka persamaan status. Namun demikian, penyamaan status ini akhirnya tak berbuah dengan pemberian beasiswa buat Agus Salim. Menurut lanjutan cuplikan dari kuliah Agus Salim di Cornell University pada tahun 1953, duduk perkaranya adalah demikian, ‘ ketika itu ia kembali bertemu Prof. Snouck Hurgronje. Ia mengatakan bahwa menjadi dokter sebenarnya tak begitu memadai, bayarannya kecil. Mungkin lupa bahwa imbalan yang dikatakan rendah menurut ukuran orang Eropa itu, bagaimanapun termasuk tinggi untuk orang pribumi. Pendeknya ia dinasihatkan agar aku tak usah studi dokter ke Belanda. Sebaliknya, ia menwarkan gagasan yang menurut pendapatnya lebih baik. Maka pada suatu hari aku menerima surat dari kementrian luar Negri Belanda yang juga ditanda tangani oleh sekretaris gubernur jendral, menawarkan kepada saya untuk masuk dinas luar Belanda, untuk menempati posisi di Jeddah, Saudi Arabia.
Dan lapangan pekerjaan yang ditawarkan bukan dalam lingkungan Hindia Timur, melainkan di Negara lain langsung dibawah pengawasan pemerintah Belanda.
Sementera itu, tentu saja ibunya mengalami kecemasan yang amat mendalam mengenai keadaan Agus, karena konon setelah lulus dari HBS di Batavia, konon kabarnya anak mereka tak tekun lagi pemelukan agamanya, bisa dibayangkan betapa gundah dan khawatir kedua rang tua dan keluarganya kalau-kalau sampai Agus Salim benar-benar tertarik pada agama Kristen. Oleh karena itu ketika mendengar tawaran untuk bekerja di Jeddah, keluarga Agus Salim khususnya Ibunya sangat menerima tawaran itu, karena beranggapan bahwa dengan bekerjanya Agus Salim di Jeddah, Saudi Arabia, Agus Salim bisa berguru kepada pamannya yang berada disana yang bernama “ Syech Ahmad Khatib’’ tentang agama dan berharap pamannya itu bisa mengembalikan Agus Salim kepada keyakinan beragama si pemuda Agus.
Singkat cerita, konon kabarnya Agus Salim jatuh sakit, yang mana dia disana hanya seorang diri dan tak ada seorangpun yang  merawatnya , dan dikarenakan keadaan Saudi Arabia pada awal abad ke-20 mash sedemikian rupa, sehingga pamannya sendiri pun tak dapat menerimanya untuk tinggal, hanya karena ia mempunyai anak gadis yang tanggung, maka dalam keadaan sakit Agus Salim terpaksa harus sendiri, kecuali ia mau menikah dengan wanita yang sanggup merawatnya.
Dengan latar belakang ini ia menikah dengan wanita setempat yang merawatnya ketika ia sakit, dari perkawinan ini lahirlah seorang anak perempuan, tetapi meninggal dunia pada waktu masih bayi. Dalam menyusuri siapakah  gerangan wanita Arab istri pertama Agus Salim ini, hamper tidak ada seorangpun dari kalangan keluarga yang tahu.
Ditengah-tengah keraguan itu akhirnya toh muncul keterangan dari salah seorang keluarga yang menyebutkan nama istripertama Agus Salim adalah : Ummu-dzaat saferiah. Kemudian menurut adik ipar Agus Salim bahwa mereka menikah dengan baik-baik dan berpisah dengan baik-baik pula.
E.     GERBANG PERKAWINAN
Untuk daerah kota Gedang memang adalah lazim bahwa perkawinan terjadi antara saudara sepupu asalkan bukan sesuku dilihat dari garis ibu. Pilihan segera jatuh kepada gadis manis berusia 18 tahun bernama Zaitun Nahar Al-Matsier yang hubungan darahnya dengan Agus Salim masih dekat.
Dari hasil pernikahan itu, Zaitun Nahar sebanyak 10 kali melahirkan anak  dalm jangka watu sekitar 25 tahun, mulai tahun 1913. Dari 10 anak itu 2 orang meninggal dunia ketika masih kecil, yaitu yang bernama Hadi anak ke-7 dan Zuhra anak ke-10. Anak ke-5 dengan panggilan syauket meninggal sebagai pemuda harapan bangsa dalam suatu pertempuran.
Menurut urutan ke-10 anak tersebut adalah :
1.      Theodora Alita, dengan panggilan Dolly yang menikah dengan Mr. Soedjono Hardjosoediro.
2.      Jusuf Tewfik Sallim, dengan panggilan totok, menikah dengan Agustine Budiarti
3.      Violet Hanifah dengan panggilan Yoyet,  yang kemudian menjadi istri Djohan Syahruzah, kini  telah janda.
4.      Maria Zenobia, dengan panggilan adek, menikah dengan Drs. Hazil Tanzil
5.      Ahmad Sjewket Salim, gugur dalam pertarungan di Lengkong di makamkan di Taman Makam Pahlawan Tangerang.
6.      Islam Basari Salim, menikah dengan Arsyana.
7.      Abdul Hadi, meninggal ketika kecil.
8.      Siti Asiah, dengan panggilan Bibsy, menikah dengan Soenharyo, kini janda.
9.      Zuhra, meninggal ketika kecil.
10.  Mansur Abdur Rachman Ciddiq, menikah dengan anak Agung Ayu Okka.[3]

F.      ULAMA INTELEK
Tidak setiap orang pandai disebut jenius. Karena orang yang jenius itu mempunya otak yang cemerlang, suatu kepandaian yang luar biasa, lebih daripada brillian.
Dalam sejarah hidupnya H. Agus salim, tidak saja sebagai pemimpin, politikus, wartawan, dan  pengarang, melainkan juga ulama dan diplomat.
Bung Karno pernah menyatakan pendapatnya tentang Agus Salim. The grand Old Man Haji Agus Salim adalah seorang Ulama Intelek. Saya pernah meneguk air yang diberikan oleh Haji Agus Salim, sambil ngelesot dibawah kakinya Haji Agus Salim. Saya merasa berbahagia, bahwa saya ini dulu dapat minum air pemberian Tjokro, minum pemberian Haji Agus Sallim.
Haji Agus Sali juga salah seorang guru saya, terutama sekali tentang sosialisme dan politik internasional. Amat broad –minded, amat terpelajar, amat ‘lucu’ (witty),’ ujar bung Karno secara jujur.
Didalam pertemuan-pertemuan yang kadang-kadang diadakan dengan para wakil state Departement yang di waktu itu jauh dari pada manis terhadap kita, selalu kemahiran mendiang Haji Agus Salim dalam perdebatan yang menguasai pembicaraan,’’ demikian Sjahrir. Dr. Sukiman Wirjosandjojo pernah mengatakan, ‘’Almarhum Haji Agus Salim menduduki tempat nomor dua sesudah mendiang ketua utma Tjoroaminoto dalam hirarki pucuk pimpinan perjuangan umat Islam Indonesia, terutama PSII sebelum perang dunia II.
Demikianlah berbagai pendapat dan komentar dari tokoh-tokoh nasional tentang Haji Agus salim.
G.    BAPAK KAUM INTELEKTUAL MUSLIM INDONESIA
Kebesaran Agus Salim tidak dapat diukur dengan kebesara K.H. A. Dahlan, pendiri Muhammadiyah, atau juga K.H. Hasyim Asy’ari, bapak spiritual Nahdhatul Ulama, atau juga tidak dapat diukur dengan peranan A. Hassan, tokoh persatuan Islam (Persis) dengan penanya yang amat tajam dalam mengupas masalah hadith dan Hukum Islam. Juga sulit untuk dibandingkan dengan peran Syekh Ahmad al-Sukarti, pengarah keagamaan paham al-Irsyad. Tokoh Dahlan dan Hasyim Asy’ari telah mewariskan dua gerakan sosio-keagamaan kepada bangsa Indonesia dalam bentuk Muhammadiyah dan NU yang maih menunjukkan perkembangannya sekalipun ranjau-ranjau politik harus mereka hadapi dengan sangat hati-hati.
Lalu apa warisan salim? Tidak mudah untuk dijawab.
H.     SALIM : MANUSIA MERDEKA
Bila orang membaca tulisan-tulisan Salim pada masa pra ataupun pasca kemerdekaan, orang akan merasakan betapa kuatnya sikap dan pikiran bebas didalamnya. [4]
Kemudian, didalam menilai hadits-hadits yang bertalian dengan peristiwa mi’raj, Salim bersikap sangat radikal, yaitu bahwa beliau tidak mempercayai semua hadits itu, sekalipun peristiwa mi’raj itu sendiri diterimanya sebagai suatu mukjizat. Disini Salim menundukkan akal merdekanya terhadap omnipotensinya Tuhan. Artinya posisi iman diletakkan lebih tinggi dari pada rasio, dan beliau juga tampaknya tidak mau mengembara secara spekulatif itu, Salim mengembalikan urusan Mi’raj ini sebagai mukjizat. Titik.
Kupasan Salim tentang masalah takdir juga baik kita singgung sedikit disini. Salim dengan keras menolak tuduhan orang bahwa Islam mengajarkan fatalisme, yaitu menerima keadaan nasib sebagaimana adanya.dikatakan bahwa fatalism inilah orang Islam menjadi fanatic, nekad dan tidak takut mati. Pendeknya berani menyabung nyawa tanpa banyak berpikir tentang bahaya dan malapetaka yang dihadapi. Menurut beliau, memaham takdir yang pelik ini haruslah senantiasa dihubungkan dengan prinsip tauhid, yang merupakan inti system kepercayaan Islam. Dari prinsip tauhidlah orang harus membaca konsep takdir yang mewajibkan oran  tawakkal dan sabar. Dengan kata lain, konsep takdir yang terlepas dari kendali tauhid dapat menyeret orang ke dalam paham fatalistik yang menempatkan manusia pada posisi yang sama sekali tidak berdaya. Bertola dari prinsip tauhid inilah Salim kemudian  menyimpulkan, ‘’ Akan tetapi pengakuan Islam akan kekuasaan takdir Tuhan itu tidak mengandung perasaan kecewa terhadap kepada Allah. Iman kepada Allah bukanlah hanya pengakuan aka ada-Nya dan kuasa-Nya, melainkan mengandung pula arti harap dan percaya kepada-Nya, yang bersifat pemurah (pengasih) dan pengasih (penyayang).
Salim dengan sikap merdekanya ingin menyelesaikan masalah ruwet diatas, dan sampai batas tertentu beliau telah berhasil, sekalipun bila dikonsultasikan dengan al-Qur’an, kita barangkali akan mendapatkan gambaran yang agak lain.tetapi dapatlah dikemukakan bahwa manusia pada posisi antara impoten dan omnipoten, yaitu bahwa manusia itu berkuasa mengubah nasibnya dan mengubah dunia, tetapi ia bukanlah maha kuasa bila berhadapan dengan ketentuan Tuhan. Jadi dengan demikian, paham fatalistik yang juga dipercayai oleh sementara orang Islam haruslah dinyatakan sebagai sesuatu yang berasal dari luar Islam. ‘’Inilah paham yang diajarkan oleh Islam, yang jauh sekali daripada ‘fatalisme’, yang dituduhkan orang,’’ tulis Salim.
Sikap merdeka Salim yang masih tetap hangat sampai hari ini ialah pandangannya tentang masalah tabir dan pemisahan antara laki-laki dan perempuan dalam rapat. Dalam hal ini Salim benar-benar menjadi pelopor, mendahulu Muhammadiyah dan organisasi-organisasi Islam lainnya. Pendirian merdeka Salim tentang  masalah tabir ini terlihat pada saat kongres jong islamietien bond ( JIB ) di Solo pada akhir 1927. Pada kongres pertama tahun 1925 di Yogyakarta , JIB masih menggunakan tabir pemisah itu, baiklah kita ikuti tulisan pak Roem (alm), salah seorang pemimpin JIB yang teramat dekat dengan Salim.
Dalam kongres 1927 itu Salim menyampaikan pidato yang brjudul De sluiering en afzondering der vrouw ‘’( Cadar dan harem’’,). Salim berucap,’’ salah satu kecondongan ialah memisahkan laki-laki dan perempuan di rapat-rapat. Orang perempuan disimpan dippojok dengan ditutup sebuah kain putih (tabir).’’ Kebiasaan macam ini menurut Salim adalah kebiasaan bangsa Arab, tidak berasal dari perintah Islam. Bahkan mungkin juga berasal dari kepercayaan golongan Yahudi dan Kristen yang memandang posisi wanita lebih rendah ketimbang laki-laki. Islam sebaliknya ‘’ mempelopori emansipasi perempan’’ kemudian Salim pergi ke dalil yang lebih mendaar lagi, katanya ‘’ apakah perintah al-Qur’an?’’ hal itu terdapat dalam surat An-Nur ayat 30 untuk laki-laki dan ayat 31 untuk perempuan, yang peraturannya sudah jelas-jelas mengenai keluarnya orang perempuan dihadapan umum, dihadapan orang laki-laki dan perempuan, diluar batas-batas keluarga dan mereka yang dekat, dalam lingkungan mana orang dapat bergaul dengan akrab. Adanya perintah ini berarti tidak adanya keharusan orang perempuan dipisahkan, apalagi menutup muka.’’ Uraian tentang tabir dan kudung diatas diuraikan Salim  setelah tabir pemisah dalam kongres JIB tahun 1927 itu disuruh turunkannya.[5]
Selain itu, jika kita hendak mengetahui dan mendalami bagaimana beliau sebagai seorang Ulama Islam, bolehlah kita baca karangan beliau tentang ‘’Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad’’, dapatlah kita mengambil kesimpulan bahwa mazhab yang beliau pakai adalah mazhab paham salaf. Maka jika kit abaca karangan-karangan Ulama-ulama yang besar-besar tentang Isra’ dan Mi’raj itu, terdapatlah pertikaian paham di antara Ulama . ada yang mengatakan dan menguatkan bahwa Nabi Muhammad saw itu, Isra’ dan Mi’raj dengan nyawa dan badannya, dan inilah golongan terbesar. Dan ada pula yang berpendapat bahwa nyawanya saja, dalam keadaan sadar, bukan mimpi, dan adapula yang berpendapat bahwa Isra’ itu dengan tubuh dan nyawa, setelah Mi’raj hanyalah dengan nyawa saja. Maka Haji agus Salim setelah menguraikan panjang lebar segala kisah Isra’ dan Mi’raj itu, dengan segala riwayat dan dirayatnya, beliau mengambil kesimpulan bahwa Nabi Muhammad telah Isra’ dan Mi’raj, dan beliau tidak memasuki salah satu pihak, dengan tubuh dan nyawanya atau tubuh saja. Beliau percaya sungguh-sungguh dan penuh bahwa Nabi Muhammad saw telah Mi’raj. Bagi Allah tidak ada yang tidak mungkin, karena diamaha kuasa : Maa Qadarullaha Haqqa Qadrihi (Manusia tidaklah dapat menaksir Allah menurut taksirannya yang tepat). Manusia adalah terlalu kecil untuk membicarakan kekuasaan Allah yang tiada terbatas.  [6]
Mungkin kiranya itulah pemaparan singkat yang bisa Pemakalah paparkan tentang biografi / pejalanan hidup  & sebuah catatan pemikiran seorang Tokoh pembaharu “ H.A. Salim’’



[1] Hazil Tanzil, seratus tahun Haji Agus Salim, Sinar Harapan, Anggota IKAPI, Jakarta, 1984, h. 36
[2] Ibid,  h. 38
[3] Ibid, h. 53
[4] Artikel yang ditulis oleh : Ahmad Syafi’I Maarif
[5] Op.cit, h.  241
[6] Ibid. h. 260