Senin, 02 November 2015

H. Agus Salim Sang Pembaharu



A.    KELAHIRAN DAN MASA KANAK-KANAK
Agus salim adalah seseorang tokoh pergerakan nasional, seorang pejuang Islam yang aktif sejak RI masih dijajah Belanda dan besar sekali jasanya dalam ikut merintis kemerdekaan bangsa.
Menurut hikayatnya, pada awal Oktober 1884, Angku Sutan Mohammad Salim sedang sangat terkesan oleh tokoh utama dari buku yang sedang dibacanya. Namanya Masyudul Haq. Maka ketika pada suatu hari ia sedang berada di surau dekat rumahnya di kota Gedang dan pesan disampaikan kepadanya bahwa istrinya Siti Zainab baru saja melahirkan bayi laki-laki sehat, segar, langsung timbul niatnya untuk member nama Mayudul Haq kepada anaknya.
Nama adalah do’a, demikian kata nabi Muhammad Rasulullah. Maka, apabila kemudian orang tua sepakat untuk memberi nama ‘’Masyudul Haq” kepada bayi yang baru lahir, tak lebih ini hanya berisi harapan semoga naknya kelak menjadi tokoh pembela kebenaran, sesuai arti dari perkataan tersebut.
Tak disangka, nama yang bermakna luhur itu dikemudian hari tenggelam ditelan oleh gelombang kebiasaan dan bayi Masyudul haq yang tumbuh dewasa serta benar menjadi tokoh pembela umatnya itu, dikenal secara luas baik ditingkat nasional maupun international hanya dengan nama “ Agus Salim “, lain tidak. Timbul pertanyaan pada sementara orang, bagaimana hal demikian bisa terjadi?, ternyata apa yang dapat ditelusuri melalui saluran keluarga, hanyalah soal sepele, namun tampaknya pengaruhnya besar. Ketika Masyudul Hak masih kecil, ia di asuh oleh seorang pembantu asal Jawa, sebagaimana diketahui seorang pembantu dari Jawa mempunyai kebiasaan untuk memanggil momongannya, anak majikannya dengan sebutan “ den bagus’ atau secara pendek “ Gus”. Panggilan kesayangan yang mengandung unsur menghormati ini tanpa terasa diikuti oleh kalngan yang lebih luas, yaitu dilingkungan sekolah dan guru-guru Belanda. Sehingga terciptalah nama Agus yang menurut lidah orang Belanda diucapkan sebagai “ August”.[1]
B.     SEKOLAH ELS DI RIAU
Pada waktu usia Agus kecil mencapai kira-kira enam tahun, ayahnya Sutan Mohamad salim diangkat oleh pemerintah  Hindia-Belanda menjadi hoofdjaksa pada Landraad di Riau en Orderhorigheden atau jaksa tinggi pada Pengadilan Negri Riau dan daerah bawahannya, berkedudukan di Riau.  kedudukan hoofdjaksa untuk orang Indonesia ketika itu – orang belanda menyebut dengan istilah Inlanders- termasuk tinggi dan sangat terhormat. Inilah sebabnya maka Agus dan Kakaknya dapat diterima di Europeese Lagere School  (E L S) pada saat itu, yang menurut kebiasaan hanya menerima anak-anak keturunan Eropa saja.
Pandai disekolah, Agus juga popular diantara teman-temannya. Baik dikalangan bangsa sendiri maupun anak-anak bangsa Eropa.
C.     SISWA HBS YANG BRILYAN
Setelah lulus Europeese Lagere School  (E L S).  Agus Salim meninggalkan Riau ia dikirim ke Batavia untuk dimasukan dalam sekolah menengah Hogere Burger School (HBS), lagi-lagi suatu sekolah dimana tidak banyak ditemui orang Indonesia disana. Murid Indonesia yang ketika itu ada ialah yang kemudian dikenal dengan sebagai Prof. Husein Djajadinigrat. Selama jangka waktu lima tahun ini kembali Agus Sallim berhasil mengesankan sekelilingknya, terutama para guru.karena ia memang pandai dan menonjol dalam semua pelajaran, baik yang bidang bahasa, ilmu sosial, ataupun ilmu pasti. Maka akhirnya ia lulus sebagai juara pertama untuk bukan saja HBS dimana ia bersekolah tetapi juga untuk semua HBS di Hindia-Belanda. Ketika itu di kawasan Hindia-Belanda ada tiga buah HBS yaitu di Batavia atau Jakarta, Bandung dan Surabaya.
Berita tentang prestsi demikian gemilang dari seorang remaja pribumi dialam kolonial Belanda dewasa itu. hingga pada akhirnya berita itu sampai ketelinga seorang remaja putri dari keluarga bangsawan di Jawa Tengah. Namanya Raden Ajeng Kartini. Remaja putri ini yang kemudian kita semua mengenal sebagai pendekarnya kaum wanita Indonesia, ketika itu Raden Ajeng Kartini sedang dilanda kemasygulan karena ia sangat menginginkan untk melanjutkan studi nya ke Belanda, hingga akhirya ia mengajukan permohonan beasiswa kepada pemerintah Hindia-Belanda, dan berkat usaha yang gencar akhirnya Raden Ajeng Kartini menerima besluit atau surat keputusan berisi penegasan bahwa permohonannya dikabulkan.
Namun nasib ternyata mnghendaki lain. Di tahun 1903 itu Kartini masih tetap harus menghadapi tembok tradisi , orang tuanya tetap tidak mengizinkan anak gadisnya untuk pergi jauh sehingga dengan berat hati Kartini sendiri terpaksa harus memutuskan untuk tidak pergi ke Belanda.[2]
Kemudian ia mengirimkan surat kepada Ny. Abendanon Istri pejabat tinggi Belanda bidang pendidikan, yang mana didalam surat tersebut Kartini menyebutkan bahwa ia mendengar tentang seorang pemuda asal Sumatra bernama Agus Salim yang sangat pandai dan lulus HBS sebagai juara pertama.  Pemuda ini ingin melanjutkan studi di Belanda di bidang kedokteran. Melalui istri pejabat tinggi Belanda inilah Kartini selanjutnya menyampaikan imbauan  dan permohonan agar biaya bagi dirinya itu dilimpahkan saja kepada pemuda Salim agar dapat mencapai cita-citanya yang tinggi. Bila masih ada kekurangan dalam hal biaya, Kartini berniat akan ikut mengusahakan dari sumber lain.
Agus Salim memang tak pernah mendapatkan beasiswa dari pemerintah Hindia-Belanda. Tentang hal ini ada beberapa anggapan yang dikemukakan oleh sumber yang berlainan. Ada anggapan misalnya yang  mengatakan bahwa Agus Salim telah menolak tawaran Kartini sambil mengatakan “ kalau pemerintah Belanda mengirim saya hanya karena anjuran Kartini dan bukan karena kemauan pemerintah, lebih baik tidak…’’ kalangan pengamat lain sementara itu berpendapat bahwa anggpan tersebut ini tidak masuk akal, karena Agus Salim tidak tahu akan adanya imbauan kartini.   



D.    BEKERJA DI JEDDAH
Seperti telah diceritakan sebelum ini, setelah lulus secara gemilang dari HBS, Agus Salim menaruh minat untuk meneruskan studi jurusan kedokteran di Negri Belanda. Tetapi ia juga sadar, bahwa biaya studi amat mahal dan tak akan terpiul oleh orang tuanya. Maka didukung oleh semua guru HBS karena merasa saying jika naka secerdas ini tidak melanjutkan studinya kejenjang yang lebih tinggi lagi. Ia lalu mengajukan permohonan beasiswa kepada pemerintah Hindia-Belanda. Jawaban atas permohonan itu jelas, yaitu bahwa tidak ada beasiswa untuk Inlander.
Sementara itu ayahanda Agus Sutan Mohamad Salim mendapat nasihat dai sekretaris Gubernur jendral agar mengajuan permohonan bagi anaknya untuk mendapatkan persamaan status dengan orang kelahiran Eropa.
Atas permohonan Sutan Mohamad Salim yang diajukan pada tahun 1904, baru setahun kemudian datang jawaban yang isinya : meluluskan permohonan bagi Jacob salim (kakak Agus) dan Agus Salim untuk mendapatka persamaan status. Namun demikian, penyamaan status ini akhirnya tak berbuah dengan pemberian beasiswa buat Agus Salim. Menurut lanjutan cuplikan dari kuliah Agus Salim di Cornell University pada tahun 1953, duduk perkaranya adalah demikian, ‘ ketika itu ia kembali bertemu Prof. Snouck Hurgronje. Ia mengatakan bahwa menjadi dokter sebenarnya tak begitu memadai, bayarannya kecil. Mungkin lupa bahwa imbalan yang dikatakan rendah menurut ukuran orang Eropa itu, bagaimanapun termasuk tinggi untuk orang pribumi. Pendeknya ia dinasihatkan agar aku tak usah studi dokter ke Belanda. Sebaliknya, ia menwarkan gagasan yang menurut pendapatnya lebih baik. Maka pada suatu hari aku menerima surat dari kementrian luar Negri Belanda yang juga ditanda tangani oleh sekretaris gubernur jendral, menawarkan kepada saya untuk masuk dinas luar Belanda, untuk menempati posisi di Jeddah, Saudi Arabia.
Dan lapangan pekerjaan yang ditawarkan bukan dalam lingkungan Hindia Timur, melainkan di Negara lain langsung dibawah pengawasan pemerintah Belanda.
Sementera itu, tentu saja ibunya mengalami kecemasan yang amat mendalam mengenai keadaan Agus, karena konon setelah lulus dari HBS di Batavia, konon kabarnya anak mereka tak tekun lagi pemelukan agamanya, bisa dibayangkan betapa gundah dan khawatir kedua rang tua dan keluarganya kalau-kalau sampai Agus Salim benar-benar tertarik pada agama Kristen. Oleh karena itu ketika mendengar tawaran untuk bekerja di Jeddah, keluarga Agus Salim khususnya Ibunya sangat menerima tawaran itu, karena beranggapan bahwa dengan bekerjanya Agus Salim di Jeddah, Saudi Arabia, Agus Salim bisa berguru kepada pamannya yang berada disana yang bernama “ Syech Ahmad Khatib’’ tentang agama dan berharap pamannya itu bisa mengembalikan Agus Salim kepada keyakinan beragama si pemuda Agus.
Singkat cerita, konon kabarnya Agus Salim jatuh sakit, yang mana dia disana hanya seorang diri dan tak ada seorangpun yang  merawatnya , dan dikarenakan keadaan Saudi Arabia pada awal abad ke-20 mash sedemikian rupa, sehingga pamannya sendiri pun tak dapat menerimanya untuk tinggal, hanya karena ia mempunyai anak gadis yang tanggung, maka dalam keadaan sakit Agus Salim terpaksa harus sendiri, kecuali ia mau menikah dengan wanita yang sanggup merawatnya.
Dengan latar belakang ini ia menikah dengan wanita setempat yang merawatnya ketika ia sakit, dari perkawinan ini lahirlah seorang anak perempuan, tetapi meninggal dunia pada waktu masih bayi. Dalam menyusuri siapakah  gerangan wanita Arab istri pertama Agus Salim ini, hamper tidak ada seorangpun dari kalangan keluarga yang tahu.
Ditengah-tengah keraguan itu akhirnya toh muncul keterangan dari salah seorang keluarga yang menyebutkan nama istripertama Agus Salim adalah : Ummu-dzaat saferiah. Kemudian menurut adik ipar Agus Salim bahwa mereka menikah dengan baik-baik dan berpisah dengan baik-baik pula.
E.     GERBANG PERKAWINAN
Untuk daerah kota Gedang memang adalah lazim bahwa perkawinan terjadi antara saudara sepupu asalkan bukan sesuku dilihat dari garis ibu. Pilihan segera jatuh kepada gadis manis berusia 18 tahun bernama Zaitun Nahar Al-Matsier yang hubungan darahnya dengan Agus Salim masih dekat.
Dari hasil pernikahan itu, Zaitun Nahar sebanyak 10 kali melahirkan anak  dalm jangka watu sekitar 25 tahun, mulai tahun 1913. Dari 10 anak itu 2 orang meninggal dunia ketika masih kecil, yaitu yang bernama Hadi anak ke-7 dan Zuhra anak ke-10. Anak ke-5 dengan panggilan syauket meninggal sebagai pemuda harapan bangsa dalam suatu pertempuran.
Menurut urutan ke-10 anak tersebut adalah :
1.      Theodora Alita, dengan panggilan Dolly yang menikah dengan Mr. Soedjono Hardjosoediro.
2.      Jusuf Tewfik Sallim, dengan panggilan totok, menikah dengan Agustine Budiarti
3.      Violet Hanifah dengan panggilan Yoyet,  yang kemudian menjadi istri Djohan Syahruzah, kini  telah janda.
4.      Maria Zenobia, dengan panggilan adek, menikah dengan Drs. Hazil Tanzil
5.      Ahmad Sjewket Salim, gugur dalam pertarungan di Lengkong di makamkan di Taman Makam Pahlawan Tangerang.
6.      Islam Basari Salim, menikah dengan Arsyana.
7.      Abdul Hadi, meninggal ketika kecil.
8.      Siti Asiah, dengan panggilan Bibsy, menikah dengan Soenharyo, kini janda.
9.      Zuhra, meninggal ketika kecil.
10.  Mansur Abdur Rachman Ciddiq, menikah dengan anak Agung Ayu Okka.[3]

F.      ULAMA INTELEK
Tidak setiap orang pandai disebut jenius. Karena orang yang jenius itu mempunya otak yang cemerlang, suatu kepandaian yang luar biasa, lebih daripada brillian.
Dalam sejarah hidupnya H. Agus salim, tidak saja sebagai pemimpin, politikus, wartawan, dan  pengarang, melainkan juga ulama dan diplomat.
Bung Karno pernah menyatakan pendapatnya tentang Agus Salim. The grand Old Man Haji Agus Salim adalah seorang Ulama Intelek. Saya pernah meneguk air yang diberikan oleh Haji Agus Salim, sambil ngelesot dibawah kakinya Haji Agus Salim. Saya merasa berbahagia, bahwa saya ini dulu dapat minum air pemberian Tjokro, minum pemberian Haji Agus Sallim.
Haji Agus Sali juga salah seorang guru saya, terutama sekali tentang sosialisme dan politik internasional. Amat broad –minded, amat terpelajar, amat ‘lucu’ (witty),’ ujar bung Karno secara jujur.
Didalam pertemuan-pertemuan yang kadang-kadang diadakan dengan para wakil state Departement yang di waktu itu jauh dari pada manis terhadap kita, selalu kemahiran mendiang Haji Agus Salim dalam perdebatan yang menguasai pembicaraan,’’ demikian Sjahrir. Dr. Sukiman Wirjosandjojo pernah mengatakan, ‘’Almarhum Haji Agus Salim menduduki tempat nomor dua sesudah mendiang ketua utma Tjoroaminoto dalam hirarki pucuk pimpinan perjuangan umat Islam Indonesia, terutama PSII sebelum perang dunia II.
Demikianlah berbagai pendapat dan komentar dari tokoh-tokoh nasional tentang Haji Agus salim.
G.    BAPAK KAUM INTELEKTUAL MUSLIM INDONESIA
Kebesaran Agus Salim tidak dapat diukur dengan kebesara K.H. A. Dahlan, pendiri Muhammadiyah, atau juga K.H. Hasyim Asy’ari, bapak spiritual Nahdhatul Ulama, atau juga tidak dapat diukur dengan peranan A. Hassan, tokoh persatuan Islam (Persis) dengan penanya yang amat tajam dalam mengupas masalah hadith dan Hukum Islam. Juga sulit untuk dibandingkan dengan peran Syekh Ahmad al-Sukarti, pengarah keagamaan paham al-Irsyad. Tokoh Dahlan dan Hasyim Asy’ari telah mewariskan dua gerakan sosio-keagamaan kepada bangsa Indonesia dalam bentuk Muhammadiyah dan NU yang maih menunjukkan perkembangannya sekalipun ranjau-ranjau politik harus mereka hadapi dengan sangat hati-hati.
Lalu apa warisan salim? Tidak mudah untuk dijawab.
H.     SALIM : MANUSIA MERDEKA
Bila orang membaca tulisan-tulisan Salim pada masa pra ataupun pasca kemerdekaan, orang akan merasakan betapa kuatnya sikap dan pikiran bebas didalamnya. [4]
Kemudian, didalam menilai hadits-hadits yang bertalian dengan peristiwa mi’raj, Salim bersikap sangat radikal, yaitu bahwa beliau tidak mempercayai semua hadits itu, sekalipun peristiwa mi’raj itu sendiri diterimanya sebagai suatu mukjizat. Disini Salim menundukkan akal merdekanya terhadap omnipotensinya Tuhan. Artinya posisi iman diletakkan lebih tinggi dari pada rasio, dan beliau juga tampaknya tidak mau mengembara secara spekulatif itu, Salim mengembalikan urusan Mi’raj ini sebagai mukjizat. Titik.
Kupasan Salim tentang masalah takdir juga baik kita singgung sedikit disini. Salim dengan keras menolak tuduhan orang bahwa Islam mengajarkan fatalisme, yaitu menerima keadaan nasib sebagaimana adanya.dikatakan bahwa fatalism inilah orang Islam menjadi fanatic, nekad dan tidak takut mati. Pendeknya berani menyabung nyawa tanpa banyak berpikir tentang bahaya dan malapetaka yang dihadapi. Menurut beliau, memaham takdir yang pelik ini haruslah senantiasa dihubungkan dengan prinsip tauhid, yang merupakan inti system kepercayaan Islam. Dari prinsip tauhidlah orang harus membaca konsep takdir yang mewajibkan oran  tawakkal dan sabar. Dengan kata lain, konsep takdir yang terlepas dari kendali tauhid dapat menyeret orang ke dalam paham fatalistik yang menempatkan manusia pada posisi yang sama sekali tidak berdaya. Bertola dari prinsip tauhid inilah Salim kemudian  menyimpulkan, ‘’ Akan tetapi pengakuan Islam akan kekuasaan takdir Tuhan itu tidak mengandung perasaan kecewa terhadap kepada Allah. Iman kepada Allah bukanlah hanya pengakuan aka ada-Nya dan kuasa-Nya, melainkan mengandung pula arti harap dan percaya kepada-Nya, yang bersifat pemurah (pengasih) dan pengasih (penyayang).
Salim dengan sikap merdekanya ingin menyelesaikan masalah ruwet diatas, dan sampai batas tertentu beliau telah berhasil, sekalipun bila dikonsultasikan dengan al-Qur’an, kita barangkali akan mendapatkan gambaran yang agak lain.tetapi dapatlah dikemukakan bahwa manusia pada posisi antara impoten dan omnipoten, yaitu bahwa manusia itu berkuasa mengubah nasibnya dan mengubah dunia, tetapi ia bukanlah maha kuasa bila berhadapan dengan ketentuan Tuhan. Jadi dengan demikian, paham fatalistik yang juga dipercayai oleh sementara orang Islam haruslah dinyatakan sebagai sesuatu yang berasal dari luar Islam. ‘’Inilah paham yang diajarkan oleh Islam, yang jauh sekali daripada ‘fatalisme’, yang dituduhkan orang,’’ tulis Salim.
Sikap merdeka Salim yang masih tetap hangat sampai hari ini ialah pandangannya tentang masalah tabir dan pemisahan antara laki-laki dan perempuan dalam rapat. Dalam hal ini Salim benar-benar menjadi pelopor, mendahulu Muhammadiyah dan organisasi-organisasi Islam lainnya. Pendirian merdeka Salim tentang  masalah tabir ini terlihat pada saat kongres jong islamietien bond ( JIB ) di Solo pada akhir 1927. Pada kongres pertama tahun 1925 di Yogyakarta , JIB masih menggunakan tabir pemisah itu, baiklah kita ikuti tulisan pak Roem (alm), salah seorang pemimpin JIB yang teramat dekat dengan Salim.
Dalam kongres 1927 itu Salim menyampaikan pidato yang brjudul De sluiering en afzondering der vrouw ‘’( Cadar dan harem’’,). Salim berucap,’’ salah satu kecondongan ialah memisahkan laki-laki dan perempuan di rapat-rapat. Orang perempuan disimpan dippojok dengan ditutup sebuah kain putih (tabir).’’ Kebiasaan macam ini menurut Salim adalah kebiasaan bangsa Arab, tidak berasal dari perintah Islam. Bahkan mungkin juga berasal dari kepercayaan golongan Yahudi dan Kristen yang memandang posisi wanita lebih rendah ketimbang laki-laki. Islam sebaliknya ‘’ mempelopori emansipasi perempan’’ kemudian Salim pergi ke dalil yang lebih mendaar lagi, katanya ‘’ apakah perintah al-Qur’an?’’ hal itu terdapat dalam surat An-Nur ayat 30 untuk laki-laki dan ayat 31 untuk perempuan, yang peraturannya sudah jelas-jelas mengenai keluarnya orang perempuan dihadapan umum, dihadapan orang laki-laki dan perempuan, diluar batas-batas keluarga dan mereka yang dekat, dalam lingkungan mana orang dapat bergaul dengan akrab. Adanya perintah ini berarti tidak adanya keharusan orang perempuan dipisahkan, apalagi menutup muka.’’ Uraian tentang tabir dan kudung diatas diuraikan Salim  setelah tabir pemisah dalam kongres JIB tahun 1927 itu disuruh turunkannya.[5]
Selain itu, jika kita hendak mengetahui dan mendalami bagaimana beliau sebagai seorang Ulama Islam, bolehlah kita baca karangan beliau tentang ‘’Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad’’, dapatlah kita mengambil kesimpulan bahwa mazhab yang beliau pakai adalah mazhab paham salaf. Maka jika kit abaca karangan-karangan Ulama-ulama yang besar-besar tentang Isra’ dan Mi’raj itu, terdapatlah pertikaian paham di antara Ulama . ada yang mengatakan dan menguatkan bahwa Nabi Muhammad saw itu, Isra’ dan Mi’raj dengan nyawa dan badannya, dan inilah golongan terbesar. Dan ada pula yang berpendapat bahwa nyawanya saja, dalam keadaan sadar, bukan mimpi, dan adapula yang berpendapat bahwa Isra’ itu dengan tubuh dan nyawa, setelah Mi’raj hanyalah dengan nyawa saja. Maka Haji agus Salim setelah menguraikan panjang lebar segala kisah Isra’ dan Mi’raj itu, dengan segala riwayat dan dirayatnya, beliau mengambil kesimpulan bahwa Nabi Muhammad telah Isra’ dan Mi’raj, dan beliau tidak memasuki salah satu pihak, dengan tubuh dan nyawanya atau tubuh saja. Beliau percaya sungguh-sungguh dan penuh bahwa Nabi Muhammad saw telah Mi’raj. Bagi Allah tidak ada yang tidak mungkin, karena diamaha kuasa : Maa Qadarullaha Haqqa Qadrihi (Manusia tidaklah dapat menaksir Allah menurut taksirannya yang tepat). Manusia adalah terlalu kecil untuk membicarakan kekuasaan Allah yang tiada terbatas.  [6]
Mungkin kiranya itulah pemaparan singkat yang bisa Pemakalah paparkan tentang biografi / pejalanan hidup  & sebuah catatan pemikiran seorang Tokoh pembaharu “ H.A. Salim’’



[1] Hazil Tanzil, seratus tahun Haji Agus Salim, Sinar Harapan, Anggota IKAPI, Jakarta, 1984, h. 36
[2] Ibid,  h. 38
[3] Ibid, h. 53
[4] Artikel yang ditulis oleh : Ahmad Syafi’I Maarif
[5] Op.cit, h.  241
[6] Ibid. h. 260

Tidak ada komentar:

Posting Komentar